Sunday, February 2, 2014

JANGAN PILIH LAGI WAKIL RAKYAT YANG HENDAK KEBIRI KPK LEWAT REVISI KUHAP

Jakarta - Jangan pilih lagi wakil rakyat yang tak pro pemberantasan korupsi. Lewat revisi RUU KUHAP mereka ingin mengebiri kewenangan KPK. Salah satunya KPK tak bisa melakukan penyelidikan dan penyadapan. Waduh!

"ICW juga akan menggalang kampanye ke publik, agar politisi yang berupaya melemahkan KPK dan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi melalui RUU KUHAP untuk tidak dipilih dalam Pemilu 2014," jelas pegiat ICW, Agus Sunaryanto, Sabtu (1/2/2014).

Adalah Komisi III DPR yang terus giat melakukan pembahasan RUU KUHAP. Sebenarnya bukan hanya KPK saja yang coba dipangkas, kewenangan kepolisian dan kejaksaan juga coba dibatasi.

"ICW minta pemerintah menarik dukungan pembahasan RUU KUHAP, dan DPR untuk hentikan pembahasan," jelas Agus.

Agus membeberkan, dalam revisi KUHAP itu, kewenangan KPK melakukan penyelidikan bisa hilang. Imbasnya, maka di KPK tidak boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan wewenang untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, hingga pemblokiran bank bahkan operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini jadi unggulan KPK dan terbukti berhasil menjerat pelaku korupsi.

Sabtu, 01/02/2014 11:06 WIB
http://news.detik.com/read/2014/02/01/110649/2484278/10/jangan-pilih-lagi-wakil-rakyat-yang-hendak-kebiri-kpk-lewat-revisi-kuhap

Monday, November 25, 2013

DOSEN UI: KITA PUNYA WAKIL RAKYAT, TAPI TIDAK TERWAKILKAN

Jakarta - Para anggota dewan yang duduk di gedung DPR sudah tentu orang-orang yang dipilih sebagai wakil rakyat saat pemilihan legislatif. Sayangnya, meski memiliki wakil rakyat rakyat Indonesia sendiri sebenarnya tak terwakilkan.

"Kita semua kalau ditanya apakah memiliki wakil rakyat? Harus dikatakan ya. Namun, apakah kita merasa terwakilkan dengan mereka, saya yakin jawaban kita semua jelas. Tidak," kata dosen Ilmu Politik UI, Nur Iman Subono dalam acara seminar di kantor Lipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2013).

Menurut Bono, sangat minim masyarakat di Indonesia yang merasa memiliki wakil rakyat karena kurangnya interaksi yang ada. Para wakil rakyat ini hanya muncul menjelang pemilihan legislatif.

"Karena itu saya mengatakan kita masih punya persoalan defisit demokrasi di masyarakat," terangnya.

Selain itu, ketidakterwakilan ini juga dikatakan Bono erat kaitannya dengan sistem demokrasi oligarki yang saat ini semakin banyak di Indonesia. Akhirnya prilaku politik yang terjadi hanya prilaku konsumtif namun tak jelas substansinya apa.

"Kebanyakan sekarang adalah konsumen demokrasi. Tapi pertanyaannya apa yang anda hasilkan dari duduk di parlemen. secara prosedural tidak bisa dibantah Indonesia memang sudah demokrasi. Tapi secara substansial, itu yang belum terjadi," pungkasnya

Sunday, November 24, 2013

KORUPSI DI PARPOL TERJADI KARENA KEGAGALAN REKRUTMEN - (INDIKASI GAGALNYA PENGKADERAN DI PARTAI POLITIK?)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Solidaritas Peduli Indonesia (Sorpindo), Agung Suprio menganggap Partai Politik yang ada sekarang bisa disebut gagal dalam melakukan regenerasi. Akibatnya, kasus korupsi masih saja terus terjadi di lingkungan partai.

Pada acara pemaparan hasil riset Sorpindo mengenai Partai Politik Terkorup di Indonesia di kantor Sorpindo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/11/2013), Agung menilai partai kerap pragmatis dalam merekrut kadernya. Hanya karena popularitas atau kekuatan finansial seseorang bisa menjadi kader partai tanpa dilihat latar belakangnya yang cela.

"Mereka yang memiliki dana, popularitas bisa diangkat tanpa mengetahui latar belakangnya. Partai tidak memiliki nuansa bersih karena itu," katanya.

Oleh karena itu banyak pemuda yang berpotensial namun tidak memiliki popularitas maupun kekuatan finansial, gagal bergabung dengan partai. Pragmatisme itu kata Agung merupakan salah satu penyebab gagalnya reformasi.

"Kalaupun ada kaum muda yang masuk, mereka membunuh dirinya sendiri karena gagal mengemban amanat. Seperti Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin yang terlibat korupsi," ujarnya.
Kegagalan partai berikutnya menurut Agung adalah kegagalan partai dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat, sehingga hingga kini masyarakat masih terus permisif terhadap kasus-kasus korupsi.
"Budaya di Indonesia tidak melihat korupsi sebagai sesuatu yang mengerikan. Beda dengan maling ayam. Sehingga ada yang mengusulkan jangan namanya Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi komisi perampok uang rakyat," katanya.

Agung menambahkan untuk mengantisipasi hal itu, kiprah KPK yang terus memberantas korupsi, dan media masa yang terus mengawal lambat lain dapat merubah sifat-sifat jelek partai politik.

Saturday, August 24, 2013

PEMILIH CERDAS, SAATNYA SEKARANG !!

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pemilu legisltaif tahun 2014. Daftar ini memuat 6.607 calon legislator dari 12 partai politik yang akan memperebutkan 560 kursi DPR RI. DCT ini sudah disusun berdasarkan hasil dari masukan masyarakat terhadap daftar sementara yang sebelumnya telah diajukan oleh masing-masing partai politik.Daftar ini memuat 90% muka-muka lama DPR yang mencalonkan diri kembali untuk duduk di DPR. Prestasi mereka ini tentunya sudah bisa dievaluasi dengan mudah.

Setelah nama-nama diumumkan, saatnya partisipasi aktif masyarakat untuk memilih dan menyeleksi mereka untuk menjadi wakil di DPR. Lewat berbagai sarana, masyarakat kini dapat dengan lebih mudah untuk mengenal masing-masing figur untuk menjadi pilihan. Bahkan KPU melalui websitenya www.kpu.go.id telah menyediakan informasi tentang para calon legislator yang masuk dalam DCT lengkap dengan riwayat hidup masing-masing.

Ini adalah momentum yang baik bagi kita untuk mewujudkan parlemen yang bersih dan memperbaiki citranya yang sudah terpuruk karena didera oleh berbagai macam berita korupsi yang kita baca diberbagai media. Pemilih janganlah mudah tergiurdengan janji-janji dan informasi yang disampaikan dengan cara membentuk opini publik oleh calon tertentu. Pemilih hendaknya dapat mulai berpikir secara cerdas untuk lebih mendalami, mengerti, dan mempelajari rekam jejak mereka selama ini. Janganlah menjatuhkan pilihan pada calon yang cenderung untuk memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya atau calon yang hanya mengingat rakyat pada saat pemilihan akan berlangsung. Demikian pula calon yang sudah mempunyai rekam jejak kurang baik, seperti tersangkut masalah korupsi, kriminalitas, ataupun moralitas.

Momen pemilu hendaknya dijadikan awal bagi perjuangan kita untuk melakukan langkah-langkah perbaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan negara yang bersih dari korupsi. Kecerdasan sebagai pemilih hendaknya sudah kita persiapkan dari sekarang, pelajari dan teliti rekam jejak para calon kita di parlemen mendatang. Karena kepada merekalah kita akan menitipkan aspirasi dan suara untuk turut serta bersama dalam perjalanan pembangunan negara ini.

Pemilih cerdas, saatnya sekarang!!...

PEMBATASAN MASA KEANGGOTAAN LEGISLATIF, SUDAH DIPERLUKANKAH?

Saya begitu terkejut membaca berita di beberapa media online mengenai telah dikeluarkannya dokumen audit BPK atas proyek fasilitas olah raga Hambalang yang didalamnya menyebutkan bahwa ada 15 orang anggota DPR dari komisi X diduga menerima sejumlah dana sehubungan dengan penambahan anggaran di APBN perubahan 2010. Berita ini menjadi pelengkap atas berita yang menyebutkan bahwa berdasarkan data ICW untuk tahun 2011, jumlah pelaku korupsi dari kalangan DPR/DPRD sebanyak 99 orang.
Betapa memprihatinkannya citra parlemen kita dimata rakyat yang diwakilinya. Kenyataan bahwa "power tends to corrupt" ternyata tidak hanya berlaku untuk eksekutif saja, legislatif yang mempunyai wewenang sebagai pengesah anggaran, ternyata mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam jalannya roda pemerintahan. Karena keputusan yang diambil oleh DPR adalah keputusan kolektif kolegial, maka dugaan korupsi yang dilakukan oleh lembaga inipun terkesan dilakukan beramai-ramai.

Menarik saya kutip dari media online detik.com apa yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar, bahwa tanggung jawab atas pengesahan proyek inipun bukanlah tanggung jawab perorangan tetapi adalah tanggung jawab bersama.
"Ya itu tadi mungkin ada perbedaan persepsi, mereka menganggap kalau ada surat pengantar atau persetujuan rincian anggaran, itu yang tanda tangan yang tanggung jawab sendiri. Itu kan tanggung jawab rame-rame," ujar Rully usai menjalani pemeriksaan di KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (23/8). 

Adanya fenomena permainan anggaran seperti ini tampaknya akan selalu menjadi magnet bagi mereka yang ingin duduk di kursi legislatif. Bisa dibayangkan berapa banyaknya proyek yang harus melalui DPR untuk dibahas dan disahkan. Bahkan tidak jarang beberapa kepala daerah sengaja "menitipkan" agar daerahnya dapat alokasi sejumlah anggaran tertentu kepada para legislator.

Bagi para anggota DPR yang sudah merasakan nikmatnya menjadi legislator, temtunya ingin terus mempertahankan kursinya. Kekuatan materi berlimpah yang sudah dikumpulkan dapat digunakan untuk mempengaruhi konstituennya agar memilih mereka kembali duduk di parlemen. Ini terlihat dari fakta yang diperoleh dari KPU, bahwa 90% caleg di Daftar Calon Tetap (DCT) adalah muka-muka lama DPR. Akankah kita dapat berharap banyak bahwa fenomena korupsi beramai-ramai ini akan hilang di era parlemen mendatang apabila mereka yang duduk masih "orang-orang yang berpengalaman"?.

Karena itu sudah saatnya aturan pembatasan masa keanggotan legislatif dibuat. Presiden saja sudah dibatasi untuk dua periode, tidak ada salahnya apabila legislator pula dibatasi untuk masa dua periode saja. Rakyat yang diwakilinyalah yang akan menilai apabila setelah satu periode sang legislator menunjukkan prestasi yang baik, maka rakyat dapat memilihnya kembali. Tetapi apabila sudah terpilih untuk kedua kalinya, maka sudah waktunya bagi sang legislator untuk menyerahkan kursinya kepada orang lain yang tentunya tidak kalah baik bahkan harus yang lebih baik lagi. Dalam hal ini, peran partai politik sangatlah menentukan. Setiap anggotanya yang duduk di parlemen dan telah duduk selama dua periode, otomatis harus sudah dicoret dalam daftar calon legislatif untuk periode berikutnya. Mekanisme rekrutmen calon legislatif juga harus lebih diperhatikan, agar mereka yang kelak lolos ke parlemen adalah memang kader-kader pilihan terbaik.


Saturday, July 20, 2013

ICW RILIS 36 CALEG ANTI-PEMBERANTASAN KORUPSI

Haluankepri.com, Minggu, 30 Juni 2013 00:00

JAKARTA— Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Marzuki Alie mempertanyakan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait 36 politisi yang akan kembali maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2014. ICW menyebut ke-36 orang itu tak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Menurut Marzuki, data ICW dibuat dengan analisis yang lemah.

"ICW itu manusia-manusia biasa, bukan malaikat, bukan Tuhan yang bisa melihat hati kita," kata Marzuki di sela-sela Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Demokrat, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (29/6).

Ketua DPR ini menegaskan, di era demokrasi, semua orang memang memiliki hak untuk bebas berpendapat. Penilaian ada di masyarakat. "Yang penting masyarakat melihat selama ini apa yang saya lakukan, jadi tidak perlu diambil susah. Siang malam, setiap hari membina lembaga-lembaga, ormas-ormas untuk memberantas korupsi. Kurang apalagi," ujarnya.

Marzuki Alie ikut dicantumkan ICW dalam daftar 36 politisi bermasalah karena pernah menyampaikan wacana pembubaran KPK. Selain Marzuki, ada sembilan kader Partai Demokrat yang juga masuk dalam daftar itu. Salah satunya adalah Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhy Baskoro Yudhoyono alias Ibas.

Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana yang namanya juga ikut tercantum dalam daftar itu menyatakan partainya akan membahas dan menentukan sikap untuk merespons rilis yang dikeluarkan ICW. "Kami akan melakukan pertemuan. Kami akan mengajukan tuntutan hukum ke ICW sampai mereka minta maaf, dan bikin pernyataan kalau (data) itu salah," kata Sutan di tempat yang sama.

Sutan mengatakan, langkah hukum diambil karena ICW dianggap telah menyebar fitnah yang kejam. Hal itu dianggapnya merugikan kader secara personal dan partainya. "Kalau orang tidak melakukan korupsi, tapi dituduh, itu fitnah. Itu lebih kejam dari pembunuhan," ujarnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun menuding ICW telah mengeluarkan pernyataan yang berpotensi fitnah. Ia menantang ICW untuk menunjukkan hasil kerja sebelum menilai orang tidak memiliki komitmen memberantas korupsi. "ICW jangan asbunlah (asal bunyi). Coba, apa yang sudah dilakukan ICW? Apa fakta yang bisa dia lakukan? Jangan asal ngomong saja," kata Jhonny.

Jhonny menilai ICW telah melakukan suatu hal yang licik karena mengeluarkan pernyataan miring tanpa landasan jelas. Namun begitu, ia mengaku tak akan memerkarakan masalah ini ke jalur hukum. Menurut Jhonny, cara terbaik untuk meluruskan pernyataan ICW adalah dengan cara berdebat. Dalam forum itu, kata Jhonny, akan terkuak jelas apa yang telah diperbuat untuk kebaikan rakyat. "Mari kita bicara, jangan berasumsi-asumsi, gunakan fakta. Bicara yang obyektif, jangan subyektif dalam menilai seseorang," ujarnya.

Ibas dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Max Sopacua tak ambil pusing soal tudingan ICW bahwa nama mereka termasuk caleg yang memiliki komitmen antikorupsi rendah. Bagi keduanya, ICW memiliki hak menyampaikan pendapat, tetapi semuanya ia serahkan kepada masyarakat yang menilai. "Itu kan olahan ilmiah ICW, saya kira itu sebuah kajian mereka. Masak kajian dibantah. Biar saja, yang nilai kan rakyat" kata Max.

Max menegaskan, pihaknya tak akan terganggu dengan rilis 36 caleg yang memiliki komitmen rendah terhadap pemberantasan korupsi. Pasalnya, kajian yang dilakukan ICW dianggapnya tidak memiliki dasar yang kuat. "Seseorang, misalnya, mengkritik sesuatu, masak langsung dikatakan tidak mendukung pemberantasan korupsi? Apa semua kita ini malaikat? Tapi silakan saja, terima kasih ICW," ujarnya.

"Dicek dulu kebenarannya (data ICW-red)," kata Ibas. Namun Ibas enggan berkomentar lebih lanjut. Dia dikawal ketat Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres). Putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu disebut ICW anti-pemberantasan korupsi lantaran mantan anggota Komisi I DPR itu melaporkan saksi kunci kasus korupsi, Yulianis, ke polisi.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hanura Syariffudin Sudding menilai ada upaya ICW untuk mengalihkan isu RUU Ormas dengan melansir 36 nama anggota DPR yang dianggap tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan kasus korupsi.

Di dalam RUU Ormas turut diatur tentang audit atau transparansi pendanaan ormas, terutama ormas yang mendapatkan dana dari asing. Isu inilah yang kemungkinan hendak diendapkan oleh ICW. "Saya tahu pola-pola kerja pengalihan isu, yang saat ini lagi pengesahan RUU Ormas dimana di dalamnya juga diatur NGO/LSM  yang menerima bantuan dana asing atau bekerja sama dengan NGO asing," kata  saat dihubungi Jumat (28/6) malam.

Untuk menindaklanjuti tudingan tersebut, Senin besok Ketua Fraksi Partai Hanura ini akan segera melaporkanya ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dengan tuduhan menyebarkan fitnah. "Rilis yang dikeluarkan ICW ini harus dibuktikan lewat jalur hukum dan saya siap menempuh julur hukum tersebut untuk tidak seenaknya ICW melakukan tudingan dan fitnah terhadap seseorang," ancamnya.

Sudding termasuk salah satu dari 36 nama tersebut. Dia dianggap tidak berpihak pada KPK karena mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan kewenangan lembaga tersebut. "Revisi UU KPK tidak dalam konteks melemahkan KPK akan tetapi ini untuk mensinergikan antarinstitusi penegak hukum sehingga tidak terjadi kegaduhan dalam penegakan hukum yang dilakukan antarpara penegak hukum seperti kasus cicak-buaya," sangkalnya.

Anggota Komisi III DPR dari PKS Fachri Hamzah yang namanya juga terdapat dalam daftar yang dirilis ICW menuding ICW melakukan kampanye hitam karena mengeluarkan data tanpa dialog dengan nama-nama yang disebut. "ICW yang antidialog dan menolak perbedaan pendapat itu sama saja dengan kelakuan aktifis yang memakai kekerasan dalam dialog baru-baru ini," kata Fachri.

Nama Fachri masuk dalam daftar 36 nama tersebut karena dianggap selalu menghalang-halangi kinerja KPK. "Tempat cari makan utama ICW sekarang adalah KPK, karena itu mereka terpukul sekali kalau ada kritik kepada KPK. Mereka tidak percaya demokrasi atau perbedaan pendapat, otoriter dan mengidap semacam dendam kepada orang yang berbeda," kata Fachri.

Bantah Terima Pesanan

Peneliti ICW Abdullah Dahlan menyatakan, pihaknya tidak menerima pesanan saat menggelontorkan data tentang 36 caleg yang komitmen antikorupsinya dianggap lemah. Menurutnya, ICW hanya ingin wajah parlemen ke depan menjadi lebih baik.

"Jadi apa yang kami lakukan adalah untuk mendorong Parlemen ke depan diisi figur yang benar-benar berkomitmen dalam agenda antikorupsi. Jadi, ICW tidak dalam kepentingan atau (menerima) pesanan pihak mana pun," kata Abdullah saat dihubungi.

Lebih jauh, Abdullah juga mengaku tak khawatir dengan ancaman sejumlah orang yang akan menggugat ICW atas tuduhan telah menyebarkan fitnah. Baginya, data itu dikeluarkan dengan dasar yang jelas. Abdullah pun berharap data tersebut menjadi rujukan publik dalam memilih anggota legislatif pada 2014. "Apa yang kami sampaikan merupakan bentuk keraguan atas komitmen para caleg yang masuk dalam DCS (daftar calon sementara). Terkait ada yang mau menggugat, itu hak mereka," ujarnya.

Setidaknya ada lima kategori yang digunakan ICW untuk merangkum daftar caleg yang terindikasi lemah komitmennya pada pemberantasan korupsi. Kelima indikator itu yakni politisi yang namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terlibat serta atau turut menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi dan politisi bekas terpidana kasus korupsi.

Lainnya adalah politisi yang pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR, politisi yang mengeluarkan pernyataan di media yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan politisi yang mendukung upaya revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan lembaga tersebut.

Saat dikonfirmasi, beberapa nama yang tercantum membantah dan menuding ICW telah melemparkan fitnah atas pesanan pihak tertentu. Karena itu, ada juga pihak yang berencana menggugat ICW secara hukum. (kom/oke/l6)

36 Caleg Bermasalah Versi ICW:

Demokrat: 10 orang
1. Edhie Baskoro Yudhoyono
2. Mirwan Amir
3. Jhonny Allen Marbun
4. Achsanul Qosasi
5. Ignatius Mulyono
6. Muhammad Nasir
7. Sutan Bhatoegana
8. Marzuki Alie
9. Max Sopacua
10. Mahyudin

Golkar: 9 orang
1. Aziz Syamsuddin
2. Bambang Soesatyo
3. Idris Laena
4. Nurdiman Munir
5. Setya Novanto
6. Kahar Muzakir
7. Melchias Marcus Mekeng
8. Priyo Budi Santoso
9. Charles Jonas Mesang

PDIP: 5 orang
1. Herman Hery
2. I Wayan Koster
3. Said Abdullah
4. Olly Dondokambey
5. Ribka Tjiptaning

PKS: 4 orang
1. Zulkieflimansyah
2. Adang Darajatun
3. Fachri Hamzah
4. Nasir Djamil

Gerindra: 3 orang
1. Desmond J Mahesa
2. Vonny Anneke Panambunan
3. Pius Lustrilanang

PPP: 2 orang
1. Ahmad Yani
2. M Achmad Farial

Hanura: 1 orang
1. Syarifuddin Sudding

PKB: 1 orang
1. Abdul Kadir Karding

PBB: 1 orang
1. Nazaruddin Sjamsuddin

http://www.haluankepri.com/nasional/48486-icw-rilis-36-caleg-anti-pemberantasan-korupsi.html

Sunday, July 7, 2013

POLITIK INDONESIA: BERGERAKLAH MENUJU MERITOKRASI


Posting saya sebelum ini ("Mengganti Pencitraan dengan Meritokrasi", oleh Inggit Sugiarti, www.radarlampung.co.id/read/opini/51600-mengganti-pencitraan-dengan-meritokrasi) benar-benar membuat saya terhenyak, bahwa negara kita tercinta ini telah membangun suatu sistem yang dibangun dengan pondasi berbedak tebal. Bukannya struktur pondasi yang dibuat kokoh dan kuat, tetapi permukaan lantai bangunannya yang dibuat mewah dan mengkilap.

Semua instrumen bangsa ini telah mengambil andil atas sistem yang menyilap mata untuk selalu menilai segala sesuatu dari sisi gemerlap. Penguasa sebagai seorang "leader" tak lebih hanya mengedepankan citra daripada manfaat yang seharusnya dibuat bagi rakyatnya. Di sisi lain, mereka sebagai pengusung si penguasa (baca: partai politik), juga sibuk memoles jagoannya dengan kosmetik yang tak kalah tebal. Bukan kompetensi lagi yang dicari, tapi kompensasi yang dibidik. Kompensasi yang didapat dari sebuah kekuasaan lebih menarik bagi para pengusung daripada menciptakan kehidupan bernegara yang lebih baik seperti yang diamanatkan oleh cita-cita luhur pendiri bangsa ini. 

Bagi saya, disinilah arti penting bagi "rakyat" dalam menentukan apa yang terbaik bagi masa depannya. Walaupun rakyat sebagai pemilih juga mempunyai andil bagi jalannya sistem pencitraan saat ini, sehingga sudah saatnyalah rakyat diberikan pendidikan politik yang lebih sehat. Sudah tidak jamannya lagi politik uang, politik sembako, ataupun politik intimidasi lainnya. 

Rakyat juga harus diberikan kesadaran untuk selalu mendorong para tokoh yang mempunyai kapabilitas dan kejujuran untuk tampil maju dalam mengelola negara ini. Saya 100% yakin dorongan rakyat akan membuat para pengusung dan penguasa/calon penguasa menjadi sadar adanya, bahwa masih ada hati nurani rakyat yang bicara, menyuarakan kejujuran, keadilan dan menuntut perbaikan ke arah yang lebih baik, bagi bangsa tercinta ini. Tuhan pun tidak akan merubah nasib suatu bangsa, melainkan bangsa itu sendiri yang merubahnya. Mari bersama berubah!.