Bukanlah suatu yang mengejutkan apabila
beberapa waktu yang lalu PPATK merilis laporan bahwa ada 74 orang anggota dewan
yang msing-masing terdiri dari 33 orang anggota DPR dan 41 orang anggota DPRD,
yang terindikasi memiliki transaksi mencurigakan. Bagi saya hal ini adalah
sesuatu yang memprihatinkan. Sejatinya, anggota dewan yang terhormat adalah
representasi dari rakyat yang diwakilinya. Salah satu tugas mereka adalah
mengawasi penggunaan uang negara yang dikumpulkan dari uang rakyat.
Dari total 33 anggota DPR periode ini,
sebanyak 21 orang di
antaranya adalah pemimpin dan anggota Badan Anggaran DPR. Sebanyak empat dari
21 orang anggota Badan Anggaran ini sudah dan sedang menjalani proses hukum
berupa menerima keputusan inkracht, menjelang vonis, dan dalam proses
penyelidikan.
Apa yang dikatakan oleh mas Pramono
Anung di postingan saya sebelumnya adalah benar adanya. Beliau mengungkapkan,
untuk kampanye menjadi anggota DPR seorang calon legislatif (caleg) biasanya menghabiskan dana Rp 1 miliar sampai
Rp 2 miliar. Bahkan ada anggota DPR yang berani mengeluarkan biaya hingga Rp 10
miliar.
Besarnya biaya politik yang
dikeluarkan para caleg tidak sebanding dengan gaji yang akan mereka terima saat
menjabat anggota DPR. Gaji rata-rata perbulan anggota DPR sekitar 3000 dollar
AS. Artinya dalam setahun seorang anggota DPR menerima 36000 dollar AS.
Sistem
politik liberal yang sedang dijalankan saat ini memang memungkinkan calon legislator
berkantung tebal akan lebih dikenal oleh pemilih sehingga dapat meraup suara
yang lebih banyak dibandingkan dengan calon dengan dukungan dana yang minim. Masuk
akal apabila isitilah “balik modal” dana kampanye haruslah menjadi tujuan yang
penting dalam menjalankan “amanah” sebagai legislator.
Menarik
apa yang menjadi usulan PAN melalui wakil sekjennya, mas Teguh Juwarno, yang
mengusulkan agar pemilihan anggota legislator mengikuti sistem nomor urut,
bukan melalui suara terbanyak. Teguh memaparkan fakta bahwa pada periode DPR
1999-2004 dan 2004 dan 2009 yang menggunakan sistem nomor urut, korupsi
tidaklah separah pada periode ini.
http://www.tempo.co/read/news/2013/01/03/078451766/p-PAN-Ongkos-Politik-Mahal-Penyebab-Korupsi-DPR
http://www.tempo.co/read/news/2013/01/03/078451766/p-PAN-Ongkos-Politik-Mahal-Penyebab-Korupsi-DPR
Menurut
hemat saya, ada beberapa segi positif yang bisa diambil dari sistem ini:
- Partai politik dapat menyusun calon legislatif berdasarkan peringkat kemampuan dan kapabilitas calon. Salah satu strategi partai politik dalam menjaring suara pemilih ádalah dengan memilih calon yang berkualitas. Cara meritokrasi ini dapat meningkatkan kualitas anggota lembaga legislatif sehingga dapat pula mengoptimalkan fungsi lembaga tersebut dalam sistem pemerintahan.
- Meminimalkan adanya politik uang, dimana seorang calon yang didukung dengan finansial yang kuat, tidak dapat menggunakannya untuk membeli suara. Karena suara pemilih akan dihitung berdasarkan nomor urut calon.
- Tidak adanya “keharusan” untuk mengembalikan dana kampanye yang sudah dikeluarkan pada saat nanti telah bertugas sebagai legislator. Ini tentunya dapat menurunkan angka korupsi yang selama ini terjadi di badan legislatif.
Disamping itu, pendidikan berpolitik yang sehat tentunya
haruslah disosialisasikan pula kepada rakyat sebagai pemilih dan penentu dalam pemilu.
Seperti ungkapan Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan), maka di atas
semuanya itu, rakyatlah yang menentukan.