Rabu, 12 Desember 2012, 14:41 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA –-
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pramono Anung,mengaku masih sulit menghilangkan korupsi di DPR.
Menurutnya, sistem politik Indonesia yang
kapitalistik menjadi kendala. “Sekarang terjadi kemunduran politik
lantaran biaya kampanye yang besar,”
kata Pramono saat menjadi pembicara dalam Workshop Konvensi PBB tentang Anti
Korupsi di Jakarta, Kamis (12/12).
Besarnya ongkos politik yang mesti
dikeluarkan saat kampanye tak lepas dari sistem politik yang liberal. Pramono menjelaskan para politikus
bebas menghabiskan dana kampanye tanpa ada aturan yang membatasi.
Alhasil tercipta persaingan tidak
sehat di antara politikus. Politikus yang tidak memiliki modal kapital besar
akan memaksakan diri untuk menyaingi lawan politiknya yang bermodal besar.
“Nanti yang bisa menjadi anggota DPR hanya pengusaha,” ujarnya.
Pramono mengungkapkan, untuk
kampanye menjadi anggota DPR seorang calon legislatif (caleg) biasanya menghabiskan dana Rp 1 miliar sampai
Rp 2 miliar. Bahkan ada anggota DPR yang berani mengeluarkan biaya hingga Rp 10
miliar.
Besarnya biaya politik yang
dikeluarkan para caleg tidak sebanding dengan gaji yang akan mereka terima saat
menjabat anggota DPR. Pramono mengungkapkan, gaji rata-rata perbulan anggota
DPR sekitar 3000 dollar AS. Artinya dalam setahun seorang anggota DPR
menerima 36000 dollar AS.
Jika diasumsikan 1 dollar ASadalah Rp 9500, maka anggota DPR
setahun hanya menerima Rp 342.000.000. Bila angka itu dikalikan lima tahun masa
jabatan, maka anggota DPR bisa mengantongi Rp 1.710.000.000.
Jumlah
tersebut dinilai Pramono tidak sepadan dengan beban kerja dan tanggung jawab
yang dimiliki anggota DPR. “Mesti ada pengaturan biaya politik agar adil,” kata
Pramono
No comments:
Post a Comment