Oleh
Inggit Sugiarti (Pemerhati Sosial Politik di Bandarlampung)
Radar
Lampung - Kamis, 20 September 2012
Sudah
jadi pedoman favorit dunia politik bahwa pencitraan itu penting. Tidak peduli
apakah kerja nyata yang dihasilkan telah dirasakan manfaatnya atau belum.
Terpenting adalah citra. Dengan polesan tim ahli pencitraan dan dibantu
penyebarannya oleh media massa,
jadilah seseorang menjadi tokoh masyarakat dengan citra positif.
Bagi
kita yang terbiasa dengan media massa, sering
didapati pencitraan seseorang menjelang pemilu maupun pemilihan presiden dan
wali kota.
Sudah berulang kali juga kita kecewa. Sebab, citra yang dibangun di media tidak
seindah fakta lapangan. Sudah saatnya politik Indonesia mengganti pencitraan
dengan yang lebih bermanfaat. Yakni meritokrasi.
Meritokrasi
bukanlah suatu sistem yang baru. Keberhasilan Jepang, Tiongkok, dan India,
serta empat macan Asia lainnya, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura,
salah satunya ditopang oleh adopsi sistem politik meritokrasi. Sistem ini
merupakan satu prinsip yang mampu menjaring beragam kemampuan di aneka sektor
dalam masyarakat. Meritokrasi merupakan salah satu pilar kebajikan dalam
nilai-nilai universal.
Dalam
kamus Wikipedia, meritokrasi berasal dari kata merit atau manfaat. Meritokrasi
menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada
mereka yang berprestasi atau berkemampuan.
Meritokrasi
di Barat diperoleh melalui pemilihan umum. Calon pemimpin (kepala pemerintahan
maupun partai) menyiapkan diri dari awal mulai dari citra pribadi sampai
program kerja. Kemudian, hal ini dikampanyekan secara terbuka dan dikompetisikan
dengan calon pemimpin yang lain. Semua ini didukung pula oleh rakyat yang
terdidik, di mana bisa memilih secara rasional dan objektif.
Sementara
itu, meritokrasi di Timur diperoleh melalui rekrutmen putra terbaik bangsa
sejak awal. Putra-putri terbaik itu diseleksi dari awal untuk diberikan
berbagai pendidikan dan penugasan. Yang terbaik dari yang terbaik-terbaik
itulah diberikan kesempatan untuk memimpin dan berkuasa. Secara kebetulan,
Tiongkok dan Singapura penganut ajaran Konfusius yang memang mengedepankan
meritokrasi.
Dengan meritokrasi, negara akan
diurus orang yang kompeten. Pembangunan negara direncanakan dan dilaksanakan
dengan baik. Sehingga, negara akan maju. Apalagi meritokrasi ditambah dengan
stabilitas negara. jadi pembangunan oleh putra terbaik itu akan
berkesinambungan.
Karakter politik Indonesia seharusnya
sudah beralih dari politik yang sarat identitas menjadi meritokrasi. Rektor
Universitas Paramadina Anies Baswedan menyebutkan, dalam sebuah politik
meritokratik, gagasan dalam bernegara begitu dinilai ketimbang pencitraan dari
tokoh politik.
Proses penciptaan sistem politik
meritokrasi hanya terjadi apabila partai politik menawarkan figur terbaik yang
dihasilkan berdasarkan kemampuan. Meritokrasi akan melahirkan pemimpin kompeten
setelah ditempa proses dan memiliki akar serta penerimaan publik. Pola ini
muncul sebagai jawaban dari persoalan politik yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat awam kini sudah mempertanyakan apakah proses demokrasi di Indonesia
bisa ke arah konsolidasi atau justru kembali ke masa otoritarian.
Untuk memudahkan itu, parpol harusnya bisa
membangun kepercayaan kepada masyarakat di sekelilingnya. Sebab, hal ini syarat
utama dalam menjaga konsolidasi demokrasi di mana pun.
Perbaikan Parpol
Memperkuat meritokrasi dalam sistem
kepartaian merupakan langkah awal dalam memperbaiki sistem kepartaian. Ada beberapa hal yang bisa
dilakukan. Pertama, dengan memperkokoh ideologi partai sebagai nilai dasar
perjuangan.
Parpol tanpa ideologi ibarat raga
tanpa jiwa; tidak memiliki arah dan cita-cita perjuangan. Ideologi menjadi
nilai bersama yang mengarahkan pimpinan dan kader partai tentang cita-cita
kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan ideologi, parpol dapat menentukan
apakah koalisi dengan parpol lain dapat dibangun atau tidak.
Kedua, kaderisasi ideologi. Yaitu
proses internalisasi nilai pada kader parpol. Kaderisasi adalah fungsi
pendidikan politik agar kelak dapat melakukan fungsi pendidikan politik kepada
masyarakat dan memassalkan ’’nilai ideologi’’ kepada masyarakat. Proses
kaderisasi tidak instan, tetapi berjenjang, dari simpatisan, kader biasa, kader
lanjutan, hingga pimpinan cabang, daerah, wilayah, dan pimpinan pusat.
Proses inilah yang akan membentuk
calon legislatif dan calon presiden/kepala daerah. Bukan sebaliknya, mendukung
calon non-kader dalam pemilu/pilpres/pilkada. Penguatan ideologi parpol dan
kaderisasi adalah kunci membenahi infrastruktur politik di Indonesia. Dengan
demikian, ada korelasi antara perbaikan taraf kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat dengan instrumen dalam sistem politik.
Ketiga, meritokrasi baru bisa
dibangun dengan komitmen segenap pihak. Konflik dan kompetisi yang timbul harus
bisa diserap dan diakumulasi sebagai pembelajaran sebagai sistem politik.
Saat ini konflik politik dalam
negeri terkadang belum sehat dan dewasa. Semangat yang melandasinya masih
bersifat pemenang mengambil semuanya. Budaya demokrasi harus dibangun dengan
upaya mengurangi tendesi konflik. Dalam konflik politik, pemenang harus mau merangkul dan menghormati yang
kalah. Juga membangun kerja sama politik dengan yang kalah. Sementara pihak
yang tidak menang harus dapat menghargai hasil kompetisi. Rela dan ikhlas
memaknai kekalahannya.
Keempat. harus diberlakukan suatu sistem
reward dan punishment di semua fungsi kepartaian dari sistem rekrutmen,
regenerasi, jenjang karir, sampai penetapan calon kepala daerah bahkan calon
presiden.
Sistem meritokrasi harus dimulai dari
hilir yaitu berkaitan dengan transparansi kepada publik. Transparansi itu bisa
berupa laporan kinerja dari para wakil rakyat dan transparansi laporan keuangan
dari partai kepada publik. Hal ini bisa dilakukan melalui instrumen media
secara berkala.
Transparansi ini akhirnya akan memaksa
partai untuk bekerja secara efektif dan efisien berkaitan dengan penggunaan
sumber daya yang mereka miliki karena ada pertanggungjawaban yang harus mereka
kejar. Dari situ akan terbangun sebuah rule of conduct, rule of law and
rule of ethics yang akan menopang berjalannya sistem tersebut.
Apabila
sistem meritokrasi tersebut sudah berjalan, barulah kemudian membangun sebuah
struktur pembagian fungsi di partai yang akan lebih bersifat aplikatif untuk
optimalisasi kinerja. Sebagai contoh kita bisa membagi struktur partai menjadi
tiga fungsi yaitu eksekutif, legislatif, dan fungsi profesional.
Dengan pembagian ini, kader-kader akan
mulai bekerja secara internal sesuai dengan cita-cita mereka ketika akan terjun
di hadapan masyarakat (entah legislatif atau eksekutif). Sementara orang-orang
yang memang lebih memiliki keinginan berkembang secara organisasional akan
fokus kepada kerja-kerja profesional partai.
No comments:
Post a Comment