Friday, June 28, 2013

"HOBI" BARU ANGGOTA DPR: CERAMAHI KPK, LALU "HILANG"

Penulis : Sabrina Asril
 
JAKARTA, KOMPAS.com — Kamis (27/6/2013) pagi hingga petang, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bulan-bulanan para politisi di parlemen. Mereka hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR.

Rapat-rapat kerja, yang biasanya sepi kehadiran anggota DPR, kali ini diikuti tak kurang oleh 20 orang. Saat sesi pertanyaan dibuka, sebagian politisi ini sangat bersemangat melontarkan kritik dan pertanyaan.

Ada yang mengkritik proses penyadapan hingga mempertanyakan kasus yang melibatkan petinggi salah satu partai. Banyaknya pertanyaan membuat Wakil Ketua Komisi III dari FPKS Al-Muzzammil Yusuf sampai membuka dua termin.

Sesi pertanyaan dari Fraksi PKS menyedot perhatian. Dua politisinya, Fahri Hamzah dan Aboebakar Alhabsy, begitu vokal "menyerang" lembaga antikorupsi itu. Keduanya pun sama-sama menuding KPK sewenang-wenang melakukan penyadapan.

Fahri bahkan menyebut KPK telah melakukan dosa besar. Ayat Al Quran dikutipnya sebagai penguat, lengkap dengan terjemahan.

Saat sesi sudah akan ditutup, politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, tiba-tiba datang dan meminta waktu lima menit untuk ikut berbicara. Bukan Ruhut namanya kalau tidak bisa "meluluhkan hati" para politisi yang ada.

Meski waktu sudah menunjukkan saatnya shalat Ashar dan Ketua KPK Abraham Samad meminta rapat diskors, Muzzamil tetap mengizinkan Ruhut berbicara. Bila sesi sebelumnya penuh kritik, Ruhut sebaliknya justru bicara dengan penuh puja-puji kepada KPK, terutama terkait penanganan skandal Bank Century.

Ruhut menilai KPK sudah bekerja "on the track" dalam penanganan kasus pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun itu. "Partai Demokrat mendukung penuh KPK, ada yang katakan kami takut KPK bongkar Century. Tidak betul, Demokrat tak takut sama sekali," imbuh dia.

Setelah Ruhut usai "berpidato", Muzzammil mengetok palu tanda bahwa rapat diskors untuk waktu shalat dan istirahat hingga pukul 19.00 WIB. Semua pun bubar. Para wakil rakyat ini sontak langsung meninggalkan ruangan.

Pimpinan KPK yang hadir, seperti Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja lebih memilih bersantai bersama wartawan, di mushala kecil berukuran 5 x 4 meter.

Pukul 19.00 WIB pun tiba. Pimpinan KPK bersama Muzzammil serentak memasuki ruang rapat di lantai II Gedung Nusantara II DPR. Ternyata, tak ada satu pun anggota dewan yang hadir.

Pimpinan KPK dan Muzzammil memutuskan menunggu selama 15 menit. Waktu berlalu, hanya empat anggota muncul. Keempat anggota itu adalah Martin Hutabarat dari Fraksi Partai Gerindra, Syarifuddin Sudding dari Fraksi Partai Hanura, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan Fahri Hamzah dari Fraksi PKS. Selebihnya entah ke mana.

Akibat sedikitnya anggota dewan yang hadir dan ada staf KPK yang meninggal dunia, Muzzammil memutuskan rapat dihentikan. Dibuka satu menit, rapat langsung ditutup. Tanpa ada kesimpulan. KPK dipersilakan memberikan jawaban tertulis atas belasan pertanyaan anggota Komisi III DPR.

"Kami malu sebenarnya, dari tadi pagi sudah semangat nanya sampai Fahri tadi ngaji ceramahin KPK, yang lain juga kritik KPK. Tapi begitu KPK mau jawab pertanyaan satu-satu, orang yang nanya udah nggak ada," celetuk Martin kepada wartawan sembari keluar ruangan.
Editor : Palupi Annisa Auliani

http://nasional.kompas.com/read/2013/06/28/0207261/.Hobi.Baru.Anggota.DPR.Ceramahi.KPK.Lalu.Hilang.

Monday, June 24, 2013

BIAYA CALEG PICU KORUPSI

JAKARTA – Semakin tingginya biaya politik yang tinggi dalam proses pemilihan umum (Pemilu)  menjadi beban politisi dan partainya, diprediksi bakal berimbas pada maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aktor politik. Karena itu, bukan tidak mungkin jika biaya pencalegan 2014 makin membengkak, maka jumlah anggota DPR yang terjerat kasus korupsipun makin banyak. 
”Sudah jadi rahasia umum jika modal pencalonan itu harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Akses pada kekuasaan dan anggaran yang lebih dekat, pasti akan menggoda para politisi, terutama di DPR. Karena itu, wajar jika banyak tersangka korupsi adalah aktor politik,” papar Pengamat politik Point Indonesia Karel Harto Susetyo kepada INDOPOS (Grup JPNN), Minggu, (23/06).

Karel memprediksi, caleg yang saat ini namanya sudah terdaftar di Daftar Caleg Sementara (DCS), saat ini sedang pusing dalam persoalan pendanaan, terutama caleg baru atau bukan incumbent yang sudah berpengalaman dan sudah mempersiapkanya jauh-jauh hari. Pasalnya, untuk menjadi anggota DPR saja minimal dibutuhkan dana Rp 1,5 miliar.

”Bukan dana yang sedikit dan itu harus sudah dipersiapkan para caleg dalam bentuk cash. Dan yang bisa mempersiapkan dana tersebut dengan cepat, yaitu mereka rata-rata yang memiliki background sebagai pengusaha. Jika aktivis atau pekerja partai saya rasa sulit, jelas mereka tak sanggup,” tuturnya.

Karena itu, dirinya memprediksi mayoritas caleg yang nantinya akan duduk di DPR pada periode 2014 – 2019 adalah mereka para pengusaha dan incumbent. Paling banyak wajah baru yang menghuni DPR nantinya tidak kurang dari 25 persen. ”Wajah lama akan tetap mendominasi, karena mereka lebih pengalaman. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan lebih ketat pada lembaga legislatif agar bisa dicegah terjadinya praktek korupsi yang menyeret anggota dewan itu sendiri,” jelasnya.

Jika tidak ada aturan yang lebih ketat untuk bisa mencegah terjadi praktek korupsi di lingkungan parlemen, lanjut Karel, maka bukan tidak mungkin citra DPR akan semakin rusak saja karena banyak oknum anggotanya yang terseret kasus korupsi. ”Butuh pencegahan sejak dini, karena itu KPU juga harus bisa mengetahui sumber dana calegnya. Ini agar bisa dicegah terjadinya praktek balas budi atau pengembalian modal pada para bohir,” jelasnya.

Di lain tempat, Pengamat politik asal Universitas Indonesia (UI) Donny Tjahja Rimbawan saat diskusi Institut Transparansi Kebijakan (ITK) di Cikini, mengkalkulasi dalam pengelolaan partai politik (parpol) saja selama lima tahun biaya yang harus dikeluarkan oleh parpol berkisar Rp 188,700 miliar untuk keberadaan kantor parpol di kabupaten/kota dan ibu kota provinsi. ”Itu sebatas dana untuk merawat konstituen dan kantor DPP. Sementara biaya lebih besar juga dikeluarkan oleh para caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD. Ini setidaknya jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp 160,120 triliun,” papar Rimbawan.

Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) baik untuk menjadi bupati, wali kota maupun gubernur biaya yang dikeluarkan para calon juga begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa. ”Untuk pilkada setidaknya dana yang gelontorkan di seluruh Indonesia mencapai Rp 23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar dan seorang calon bupati / wali kota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar,” terangnya. (dms)
 

Monday, June 10, 2013

“PAK DAHLAN, GAJINYA DITRANSFER?”

Oleh: Yayat Cipasang
 
ENTAH iseng atau serius ketika anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS Refrizal mengungkit gaji Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan saat menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero). Refrizal seolah mengingatkan kembali memori bangsa ini ketika Dahlan menyatakan tidak akan menerima gaji sebagai orang nomor satu di perusahaan setrum tersebut.
 
Saat itu Dahlan menyatakan jabatan itu adalah amanah dan karena kekayaan sudah cukup alias kaya-raya, menjadi Dirut PLN hanya sebagai bentuk pengabdian. Tentu pernyataan pendiri dan pemilik Grup Jawa Pos itu seperti  biasa mengundang decak kagum dan juga sudah pasti ada yang menyebut  sebagai pencitraan.
 
“Toh, gaji itu sudah diatur. Saya ngak pernah dengar Perdana Menteri Inggris, Perdana Menteri Prancis, Perdana Menteri Jepang dan Presiden Amerika Serikat menolak gaji. Ini di negara miskin ada pejabat yang nolak gaji,” komentar masyarakat saat itu.
 
Nah, Refrizal sepertinya masih ingat soal janji  Dahlan yang tidak akan menyentuh gajinya selama menjadi Dirut  PLN dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, belum lama ini.  ”Saya hanya mengklarifikasi saja Pak  Dahlan. Apakah betul  saat menjabat Dirut PLN tidak menerima gaji?” tanya Refrizal. “Tidak mengambil atau memang ditransfer?”
 
Refrizal memiliki alasan mempersoalkan gaji Dahlan selama menjadi Dirut PLN. Menurutnya,  alokasi gaji itu sudah baku dan jelas aturannya. Jangan sampai gaji yang bersumber dari anggaran negara dan tentu saja pajak rakyat mungkin di dalamnya ada pajak dari anak buah Dahlan di Grup Jawa Pos, disalahgunakan.
“Itu kan duit negara, posisi duit itu harus jelas. Ada  dimana atau disimpan di rekening siapa. Kan harus jelas,” cerocos Refrizal.
 
Dahlan hanya mesem-mesem mendengar Refrizal berceloteh. “Itu terlalu pribadi,” kata Dahlan.
Dahlan mengaku, ketika ditunjuk Presiden sebagai Dirut PLN saat itu sempat menyampaikan ’syarat’  kepada Presiden SBY agar tidak menerima gaji. Dengan alasan Dahlan tidak ingin kerja cari uang. “Karena sudah diberi tambahan umur saja saya bersyukur. Nah, kalau nanti di PLN kan harus terima gaji. Boleh nggak saya tidak terima gaji,”  kata Dahlan, memohon.
“Nah, saat itu Bapak Presiden menyampaikan, ikut peraturan saja. Kemudian direksi menyimpan uang di rekening tertentu. Nah setelah saya meningggalkan PLN saya tidak menanyakan itu. Setelah saya enam bulan tidak menjadi Dirut, saya diberi tahu uang itu harus diapakan. Setelah itu saya kirim surat ke KPK dan ke PPATK minta izin agar uang itu saya gunakan untuk membangun madrasah dan penelitian.  Belum habis masih ada separo,” paparnya.
 
Rapat bubar, tak ada anggota Komisi VI yang menanaykan madrasahnya apa namanya dan dimana serta penelitian apa. “Mau apa lagi itu duit hak dia,” celetuk seorang anggota Komisi VI. “Cocok ditiru untuk kampanye tuh,” timpal yang lain.
 
Hadeuh. Dunia ini memang pangggung pencitraan