Monday, November 25, 2013

DOSEN UI: KITA PUNYA WAKIL RAKYAT, TAPI TIDAK TERWAKILKAN

Jakarta - Para anggota dewan yang duduk di gedung DPR sudah tentu orang-orang yang dipilih sebagai wakil rakyat saat pemilihan legislatif. Sayangnya, meski memiliki wakil rakyat rakyat Indonesia sendiri sebenarnya tak terwakilkan.

"Kita semua kalau ditanya apakah memiliki wakil rakyat? Harus dikatakan ya. Namun, apakah kita merasa terwakilkan dengan mereka, saya yakin jawaban kita semua jelas. Tidak," kata dosen Ilmu Politik UI, Nur Iman Subono dalam acara seminar di kantor Lipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2013).

Menurut Bono, sangat minim masyarakat di Indonesia yang merasa memiliki wakil rakyat karena kurangnya interaksi yang ada. Para wakil rakyat ini hanya muncul menjelang pemilihan legislatif.

"Karena itu saya mengatakan kita masih punya persoalan defisit demokrasi di masyarakat," terangnya.

Selain itu, ketidakterwakilan ini juga dikatakan Bono erat kaitannya dengan sistem demokrasi oligarki yang saat ini semakin banyak di Indonesia. Akhirnya prilaku politik yang terjadi hanya prilaku konsumtif namun tak jelas substansinya apa.

"Kebanyakan sekarang adalah konsumen demokrasi. Tapi pertanyaannya apa yang anda hasilkan dari duduk di parlemen. secara prosedural tidak bisa dibantah Indonesia memang sudah demokrasi. Tapi secara substansial, itu yang belum terjadi," pungkasnya

Sunday, November 24, 2013

KORUPSI DI PARPOL TERJADI KARENA KEGAGALAN REKRUTMEN - (INDIKASI GAGALNYA PENGKADERAN DI PARTAI POLITIK?)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Solidaritas Peduli Indonesia (Sorpindo), Agung Suprio menganggap Partai Politik yang ada sekarang bisa disebut gagal dalam melakukan regenerasi. Akibatnya, kasus korupsi masih saja terus terjadi di lingkungan partai.

Pada acara pemaparan hasil riset Sorpindo mengenai Partai Politik Terkorup di Indonesia di kantor Sorpindo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/11/2013), Agung menilai partai kerap pragmatis dalam merekrut kadernya. Hanya karena popularitas atau kekuatan finansial seseorang bisa menjadi kader partai tanpa dilihat latar belakangnya yang cela.

"Mereka yang memiliki dana, popularitas bisa diangkat tanpa mengetahui latar belakangnya. Partai tidak memiliki nuansa bersih karena itu," katanya.

Oleh karena itu banyak pemuda yang berpotensial namun tidak memiliki popularitas maupun kekuatan finansial, gagal bergabung dengan partai. Pragmatisme itu kata Agung merupakan salah satu penyebab gagalnya reformasi.

"Kalaupun ada kaum muda yang masuk, mereka membunuh dirinya sendiri karena gagal mengemban amanat. Seperti Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin yang terlibat korupsi," ujarnya.
Kegagalan partai berikutnya menurut Agung adalah kegagalan partai dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat, sehingga hingga kini masyarakat masih terus permisif terhadap kasus-kasus korupsi.
"Budaya di Indonesia tidak melihat korupsi sebagai sesuatu yang mengerikan. Beda dengan maling ayam. Sehingga ada yang mengusulkan jangan namanya Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi komisi perampok uang rakyat," katanya.

Agung menambahkan untuk mengantisipasi hal itu, kiprah KPK yang terus memberantas korupsi, dan media masa yang terus mengawal lambat lain dapat merubah sifat-sifat jelek partai politik.