Friday, January 18, 2013

POLITISI BUSUK DAN PENGANGGURAN POLITIK

KOMPAS.com - Pemilihan umum adalah saluran paling konstitusional bagi seseorang atau sekelompok orang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Namun, ketika uang sangat berkuasa, popularitas kerap menjadi penentu dan masyarakat pun kerap terlenakan oleh pandangan jangka pendek. Saat itulah terbuka peluang politisi yang sebenarnya tak layak.

Nyaris setiap menjelang pemilu, kampanye antipolitisi busuk mengemuka. Harapannya, tentu saja agar rakyat pemilih tak membiarkan politikus yang tak bermutu kembali menguasai jabatan publik. Menjelang Pemilu 2004, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir gerakan antipolitikus busuk. Politikus jenis itu adalah kebalikan dari politikus yang amanah, yakni politikus yang tidak pernah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, tidak terlibat dalam perusakan lingkungan, tak pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta tak terlibat narkotika.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada 2013 berencana memublikasikan rapor anggota DPR yang bisa menjadi acuan penilaian kinerja para wakil rakyat. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan isu antipolitikus busuk ini akan mewarnai sekitar setahun ke depan.

Gerakan memangkas politikus busuk tidak mudah dan jelas tak bisa sembarangan. Data yang digunakan mesti sahih, dengan variabel yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Itupun bukan jaminan bebas masalah. Pelabelan politikus bermasalah, kemudian mengampanyekannya, rawan digugat dengan delik pencemaran nama baik. Jika data yang dipakai keliru, konsekuensinya bisa lebih panjang lagi.

Tak semua politikus bisa berlapang dada seperti AM Fatwa. Menjelang Pemilu 2004, sejumlah organisasi non-pemerintah pernah mendeklarasikan Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk. Namun, sempat ada masalah ketika ICW keliru menyebut politikus Partai Amanat Nasional tersebut sebagai salah seorang anggota DPR yang terlibat korupsi. Fatwa mengadukan ICW ke Polda Metro Jaya. Kasus ini berhenti setelah ICW mengaku keliru dan meminta maaf (Kompas, 30 Juni 2005).

Formappi tampaknya akan melebarkan definisi politikus busuk. Mengutip Koordinator Formappi Sebastian Salang, politikus busuk termasuk juga anggota legislatif yang malas menghadiri sidang dan turun ke daerah pemilihan serta yang tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat konstituen (Kompas, 3 Januari 2013).

Terkait dengan kinerja politikus, sosiolog Ignas Kleden menyebut istilah pengangguran politik (Masyarakat dan Negara, 2004). Pengangguran politik terjadi karena tingkah laku politik yang tidak produktif dan malahan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan di masyarakat. Menurut Kleden, faktor pengangguran politik lebih disebabkan oleh kualifikasi para politikus yang menduduki posisi penting bukan karena keterampilan dan kompetensi, melainkan lebih karena dukungan kuat dari konstituen politik yang mereka wakili.

Direktur Pusat Studi dan Kajian Hukum Indonesia Ronald Rofiandri berpendapat, politikus seharusnya bukan penganggur. Bahkan, ketika mau total, mereka dengan sendirinya akan kewalahan dengan kompleksitas aspirasi dan suara.

Setiap politikus punya keterampilan dan kompetensi yang bisa diukur. Tinggal bagaimana konstituen menentukan kepada siapa mereka akan menyerahkan kepercayaan. Jika sudah begitu, akankah politikus busuk dan/atau penganggur politik masih mendapat tempat pada Pemilu 2014?

Saturday, January 12, 2013

KORUPSI DI DPR AKIBAT BIAYA POLITIK YANG BESAR


Rabu, 12 Desember 2012, 14:41 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pramono Anung,mengaku masih  sulit menghilangkan korupsi di DPR.

Menurutnya, sistem politik Indonesia yang kapitalistik menjadi kendala. “Sekarang terjadi kemunduran politik lantaran  biaya kampanye yang besar,” kata Pramono saat menjadi pembicara dalam Workshop Konvensi PBB tentang Anti Korupsi di Jakarta, Kamis (12/12).

Besarnya ongkos politik yang mesti dikeluarkan saat kampanye tak lepas dari sistem politik yang liberal. Pramono menjelaskan para politikus bebas menghabiskan dana kampanye tanpa ada aturan yang membatasi.

Alhasil tercipta persaingan tidak sehat di antara politikus. Politikus yang tidak memiliki modal kapital besar akan memaksakan diri untuk menyaingi lawan politiknya yang bermodal besar. “Nanti yang bisa menjadi anggota DPR hanya pengusaha,” ujarnya.

Pramono mengungkapkan, untuk kampanye menjadi anggota DPR seorang calon legislatif (caleg)  biasanya menghabiskan dana Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar. Bahkan ada anggota DPR yang berani mengeluarkan biaya hingga Rp 10 miliar.

Besarnya biaya politik yang dikeluarkan para caleg tidak sebanding dengan gaji yang akan mereka terima saat menjabat anggota DPR. Pramono mengungkapkan, gaji rata-rata perbulan anggota DPR sekitar 3000 dollar AS. Artinya dalam setahun seorang anggota DPR menerima  36000 dollar AS.

Jika diasumsikan  1 dollar ASadalah Rp 9500, maka anggota DPR setahun hanya menerima Rp 342.000.000. Bila angka itu dikalikan lima tahun masa jabatan, maka anggota DPR bisa mengantongi Rp 1.710.000.000.

Jumlah tersebut dinilai Pramono tidak sepadan dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dimiliki anggota DPR. “Mesti ada pengaturan biaya politik agar adil,” kata Pramono

Saturday, January 5, 2013

MENGGANTI PENCITRAAN DENGAN MERITOKRASI


Oleh Inggit Sugiarti (Pemerhati Sosial Politik di Bandarlampung)
Radar Lampung - Kamis, 20 September 2012

Sudah jadi pedoman favorit dunia politik bahwa pencitraan itu penting. Tidak peduli apakah kerja nyata yang dihasilkan telah dirasakan manfaatnya atau belum. Terpenting adalah citra. Dengan polesan tim ahli pencitraan dan dibantu penyebarannya oleh media massa, jadilah seseorang menjadi tokoh masyarakat dengan citra positif.

Bagi kita yang terbiasa dengan media massa, sering didapati pencitraan seseorang menjelang pemilu maupun pemilihan presiden dan wali kota. Sudah berulang kali juga kita kecewa. Sebab, citra yang dibangun di media tidak seindah fakta lapangan. Sudah saatnya politik Indonesia mengganti pencitraan dengan yang lebih bermanfaat. Yakni meritokrasi.

Meritokrasi bukanlah suatu sistem yang baru. Keberhasilan Jepang, Tiongkok, dan India, serta empat macan Asia lainnya, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, salah satunya ditopang oleh adopsi sistem politik meritokrasi. Sistem ini merupakan satu prinsip yang mampu menjaring beragam kemampuan di aneka sektor dalam masyarakat. Meritokrasi merupakan salah satu pilar kebajikan dalam nilai-nilai universal.

Dalam kamus Wikipedia, meritokrasi berasal dari kata merit atau manfaat. Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan.

Meritokrasi di Barat diperoleh melalui pemilihan umum. Calon pemimpin (kepala pemerintahan maupun partai) menyiapkan diri dari awal mulai dari citra pribadi sampai program kerja. Kemudian, hal ini dikampanyekan secara terbuka dan dikompetisikan dengan calon pemimpin yang lain. Semua ini didukung pula oleh rakyat yang terdidik, di mana bisa memilih secara rasional dan objektif.

Sementara itu, meritokrasi di Timur diperoleh melalui rekrutmen putra terbaik bangsa sejak awal. Putra-putri terbaik itu diseleksi dari awal untuk diberikan berbagai pendidikan dan penugasan. Yang terbaik dari yang terbaik-terbaik itulah diberikan kesempatan untuk memimpin dan berkuasa. Secara kebetulan, Tiongkok dan Singapura penganut ajaran Konfusius yang memang mengedepankan meritokrasi.

Dengan meritokrasi, negara akan diurus orang yang kompeten. Pembangunan negara direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga, negara akan maju. Apalagi meritokrasi ditambah dengan stabilitas negara. jadi pembangunan oleh putra terbaik itu akan berkesinambungan.

Karakter politik Indonesia seharusnya sudah beralih dari politik yang sarat identitas menjadi meritokrasi. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menyebutkan, dalam sebuah politik meritokratik, gagasan dalam bernegara begitu dinilai ketimbang pencitraan dari tokoh politik.

Proses penciptaan sistem politik meritokrasi hanya terjadi apabila partai politik menawarkan figur terbaik yang dihasilkan berdasarkan kemampuan. Meritokrasi akan melahirkan pemimpin kompeten setelah ditempa proses dan memiliki akar serta penerimaan publik. Pola ini muncul sebagai jawaban dari persoalan politik yang terjadi di masyarakat. Masyarakat awam kini sudah mempertanyakan apakah proses demokrasi di Indonesia bisa ke arah konsolidasi atau justru kembali ke masa otoritarian.

Untuk memudahkan itu, parpol harusnya bisa membangun kepercayaan kepada masyarakat di sekelilingnya. Sebab, hal ini syarat utama dalam menjaga konsolidasi demokrasi di mana pun.

Perbaikan Parpol

Memperkuat meritokrasi dalam sistem kepartaian merupakan langkah awal dalam memperbaiki sistem kepartaian. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, dengan memperkokoh ideologi partai sebagai nilai dasar perjuangan.

Parpol tanpa ideologi ibarat raga tanpa jiwa; tidak memiliki arah dan cita-cita perjuangan. Ideologi menjadi nilai bersama yang mengarahkan pimpinan dan kader partai tentang cita-cita kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan ideologi, parpol dapat menentukan apakah koalisi dengan parpol lain dapat dibangun atau tidak.

Kedua, kaderisasi ideologi. Yaitu proses internalisasi nilai pada kader parpol. Kaderisasi adalah fungsi pendidikan politik agar kelak dapat melakukan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat dan memassalkan ’’nilai ideologi’’ kepada masyarakat. Proses kaderisasi tidak instan, tetapi berjenjang, dari simpatisan, kader biasa, kader lanjutan, hingga pimpinan cabang, daerah, wilayah, dan pimpinan pusat.

Proses inilah yang akan membentuk calon legislatif dan calon presiden/kepala daerah. Bukan sebaliknya, mendukung calon non-kader dalam pemilu/pilpres/pilkada. Penguatan ideologi parpol dan kaderisasi adalah kunci membenahi infrastruktur politik di Indonesia. Dengan demikian, ada korelasi antara perbaikan taraf kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan instrumen dalam sistem politik.

Ketiga, meritokrasi baru bisa dibangun dengan komitmen segenap pihak. Konflik dan kompetisi yang timbul harus bisa diserap dan diakumulasi sebagai pembelajaran sebagai sistem politik.

Saat ini konflik politik dalam negeri terkadang belum sehat dan dewasa. Semangat yang melandasinya masih bersifat pemenang mengambil semuanya. Budaya demokrasi harus dibangun dengan upaya mengurangi tendesi konflik. Dalam konflik politik, pemenang harus mau merangkul dan menghormati yang kalah. Juga membangun kerja sama politik dengan yang kalah. Sementara pihak yang tidak menang harus dapat menghargai hasil kompetisi. Rela dan ikhlas memaknai kekalahannya.

Keempat. harus diberlakukan suatu sistem reward dan punishment di semua fungsi kepartaian dari sistem rekrutmen, regenerasi, jenjang karir, sampai penetapan calon kepala daerah bahkan calon presiden.

Sistem meritokrasi harus dimulai dari hilir yaitu berkaitan dengan transparansi kepada publik. Transparansi itu bisa berupa laporan kinerja dari para wakil rakyat dan transparansi laporan keuangan dari partai kepada publik. Hal ini bisa dilakukan melalui instrumen media secara berkala.

Transparansi ini akhirnya akan memaksa partai untuk bekerja secara efektif dan efisien berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang mereka miliki karena ada pertanggungjawaban yang harus mereka kejar. Dari situ akan terbangun sebuah rule of conduct, rule of law and rule of ethics yang akan menopang berjalannya sistem tersebut.

Apabila sistem meritokrasi tersebut sudah berjalan, barulah kemudian membangun sebuah struktur pembagian fungsi di partai yang akan lebih bersifat aplikatif untuk optimalisasi kinerja. Sebagai contoh kita bisa membagi struktur partai menjadi tiga fungsi yaitu eksekutif, legislatif, dan fungsi profesional.

Dengan pembagian ini, kader-kader akan mulai bekerja secara internal sesuai dengan cita-cita mereka ketika akan terjun di hadapan masyarakat (entah legislatif atau eksekutif). Sementara orang-orang yang memang lebih memiliki keinginan berkembang secara organisasional akan fokus kepada kerja-kerja profesional partai.

Tuesday, January 1, 2013

KORUPSI DAN LINGKARAN PARTAI POLITIK


Kamis, 12 Juli 2012 | 09:11 WIB

KOMPAS.com — Saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan institusinya tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Al Quran, banyak yang terenyak. Sesuatu yang suci pun dikorupsi di negeri ini. Belakangan, saat KPK menetapkan anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka dalam kasus ini, efek kejutannya tidak sama lagi.

Korupsi pembahasan pengadaan Al Quran membuat kita terkejut. Namun, begitu mengetahui bahwa pelakunya diduga adalah anggota DPR, mereka yang tadinya kaget pun seperti sudah mafhum. Survei Transparency International Indonesia tahun 2009 menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia, sementara partai politik berada di urutan ketiga terkorup. Kondisi ini tak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir.

Sejauh ini, lebih dari 40 anggota DPR yang dihukum karena korupsi. Jika benar-benar terbukti, Zulkarnaen mungkin akan menambah panjang daftar anggota DPR yang menjadi pesakitan karena korupsi.

Setahun terakhir kita seperti disuguhi pertunjukan tentang betapa korupnya anggota DPR di Indonesia. Dimulai ketika KPK membongkar kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang. Ketika itu, yang ditangkap memang seperti tidak ada kaitannya dengan anggota DPR atau partai politik. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap dari Direktur Marketing PT Duta Graha Indah dan anggota staf marketing Grup Permai.

Belakangan, melalui serangkaian penyidikan, KPK menemukan, Grup Permai sebenarnya dikendalikan  mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dalam persidangan dengan terdakwa Nazaruddin, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun menyebutnya sebagai pengendali Grup Permai.

Persidangan Nazaruddin memberi gambaran jelas ada hubungan nyata antara aktivitas politik anggota DPR dan korupsi berbagai proyek pemerintah yang anggarannya dibahas di parlemen.

Grup Permai adalah entitas berbagai kelompok bisnis yang dipakai untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah lewat cara curang, seperti menyuap pemilik proyek. Grup Permai membawahi beberapa perusahaan. Anak perusahaan itulah yang bertugas mencari proyek pemerintah untuk dimenangkan tendernya. Setelah menang dan memperoleh proyek, mereka bisa mengerjakan sendiri atau menyerahkan ke perusahaan lain yang bersedia membayar fee. Fee itu kemudian disimpan di brankas milik Grup Permai.

Untuk bisa mendapat proyek, pegawai Grup Permai seperti Mindo Rosalina Manulang harus dekat dengan anggota DPR. Dengan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu, tak sulit bagi Nazaruddin menginstruksikan anak buahnya seperti Mindo untuk berhubungan erat dengan anggota DPR yang membahas anggaran proyek.

Dalam kasus wisma atlet, Mindo mengaku bekerja sama dengan anggota Komisi X DPR dari Fraksi Demokrat, Angelina Sondakh. Angelina merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Pembahasan seluruh anggaran yang diajukan pemerintah yang melalui Banggar DPR membuat alat kelengkapan ini jadi tempat pertama korupsi direncanakan.

Kerja sama dengan anggota Banggar DPR menjadi kunci permainan korup ini. Dakwaan jaksa KPK terhadap Wa Ode Nurhayati dengan jelas menggambarkannya. Wa Ode adalah mantan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Jaksa mendakwa Wa Ode menerima suap dari pengusaha Fadh Arafiq melalui Haris Andi Surahman.

Dalam dakwaan jaksa disebut, Fadh minta tolong Haris agar dicarikan anggota Banggar yang bisa mencairkan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) untuk tiga kabupaten, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah. Imbalannya, Wa Ode minta 6 persen dari total DPID untuk tiga kabupaten itu.

Dalam kasus korupsi pembahasan pengadaan Al Quran, sebagai anggota Banggar DPR sekaligus Komisi VIII, Zulkarnaen ikut mengarahkan perusahaan tertentu agar dimenangkan tendernya. Untuk perannya ini, Zulkarnaen diduga menerima suap miliaran rupiah. Zulkarnaen membantah terlibat kasus itu saat diperiksa Badan Kehormatan DPR. Namun, dia sudah dicopot dari Banggar DPR.

Secara sederhana, peran anggota Banggar DPR terlihat dari komisi tempatnya berasal. Zulkarnaen ada di Komisi VIII yang mitranya antara lain Kementerian Agama. Angelina yang tersangkut kasus wisma atlet dan 16 universitas negeri ada di Komisi X yang bermitra kerja dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, ada juga yang bermain lintas komisi seperti Nazaruddin. Dia bisa seperti itu karena posisinya di struktur partai termasuk paling tinggi, yakni bendahara umum. Tampaknya siapa pun yang dipilih menjadi anggota Banggar DPR oleh fraksinya punya tugas sebagai penggalang dana (fundraiser) bagi partai. Rata-rata bendahara partai merupakan anggota Banggar DPR. (Khaerudin)