Saturday, January 5, 2013

MENGGANTI PENCITRAAN DENGAN MERITOKRASI


Oleh Inggit Sugiarti (Pemerhati Sosial Politik di Bandarlampung)
Radar Lampung - Kamis, 20 September 2012

Sudah jadi pedoman favorit dunia politik bahwa pencitraan itu penting. Tidak peduli apakah kerja nyata yang dihasilkan telah dirasakan manfaatnya atau belum. Terpenting adalah citra. Dengan polesan tim ahli pencitraan dan dibantu penyebarannya oleh media massa, jadilah seseorang menjadi tokoh masyarakat dengan citra positif.

Bagi kita yang terbiasa dengan media massa, sering didapati pencitraan seseorang menjelang pemilu maupun pemilihan presiden dan wali kota. Sudah berulang kali juga kita kecewa. Sebab, citra yang dibangun di media tidak seindah fakta lapangan. Sudah saatnya politik Indonesia mengganti pencitraan dengan yang lebih bermanfaat. Yakni meritokrasi.

Meritokrasi bukanlah suatu sistem yang baru. Keberhasilan Jepang, Tiongkok, dan India, serta empat macan Asia lainnya, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, salah satunya ditopang oleh adopsi sistem politik meritokrasi. Sistem ini merupakan satu prinsip yang mampu menjaring beragam kemampuan di aneka sektor dalam masyarakat. Meritokrasi merupakan salah satu pilar kebajikan dalam nilai-nilai universal.

Dalam kamus Wikipedia, meritokrasi berasal dari kata merit atau manfaat. Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan.

Meritokrasi di Barat diperoleh melalui pemilihan umum. Calon pemimpin (kepala pemerintahan maupun partai) menyiapkan diri dari awal mulai dari citra pribadi sampai program kerja. Kemudian, hal ini dikampanyekan secara terbuka dan dikompetisikan dengan calon pemimpin yang lain. Semua ini didukung pula oleh rakyat yang terdidik, di mana bisa memilih secara rasional dan objektif.

Sementara itu, meritokrasi di Timur diperoleh melalui rekrutmen putra terbaik bangsa sejak awal. Putra-putri terbaik itu diseleksi dari awal untuk diberikan berbagai pendidikan dan penugasan. Yang terbaik dari yang terbaik-terbaik itulah diberikan kesempatan untuk memimpin dan berkuasa. Secara kebetulan, Tiongkok dan Singapura penganut ajaran Konfusius yang memang mengedepankan meritokrasi.

Dengan meritokrasi, negara akan diurus orang yang kompeten. Pembangunan negara direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga, negara akan maju. Apalagi meritokrasi ditambah dengan stabilitas negara. jadi pembangunan oleh putra terbaik itu akan berkesinambungan.

Karakter politik Indonesia seharusnya sudah beralih dari politik yang sarat identitas menjadi meritokrasi. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menyebutkan, dalam sebuah politik meritokratik, gagasan dalam bernegara begitu dinilai ketimbang pencitraan dari tokoh politik.

Proses penciptaan sistem politik meritokrasi hanya terjadi apabila partai politik menawarkan figur terbaik yang dihasilkan berdasarkan kemampuan. Meritokrasi akan melahirkan pemimpin kompeten setelah ditempa proses dan memiliki akar serta penerimaan publik. Pola ini muncul sebagai jawaban dari persoalan politik yang terjadi di masyarakat. Masyarakat awam kini sudah mempertanyakan apakah proses demokrasi di Indonesia bisa ke arah konsolidasi atau justru kembali ke masa otoritarian.

Untuk memudahkan itu, parpol harusnya bisa membangun kepercayaan kepada masyarakat di sekelilingnya. Sebab, hal ini syarat utama dalam menjaga konsolidasi demokrasi di mana pun.

Perbaikan Parpol

Memperkuat meritokrasi dalam sistem kepartaian merupakan langkah awal dalam memperbaiki sistem kepartaian. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, dengan memperkokoh ideologi partai sebagai nilai dasar perjuangan.

Parpol tanpa ideologi ibarat raga tanpa jiwa; tidak memiliki arah dan cita-cita perjuangan. Ideologi menjadi nilai bersama yang mengarahkan pimpinan dan kader partai tentang cita-cita kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan ideologi, parpol dapat menentukan apakah koalisi dengan parpol lain dapat dibangun atau tidak.

Kedua, kaderisasi ideologi. Yaitu proses internalisasi nilai pada kader parpol. Kaderisasi adalah fungsi pendidikan politik agar kelak dapat melakukan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat dan memassalkan ’’nilai ideologi’’ kepada masyarakat. Proses kaderisasi tidak instan, tetapi berjenjang, dari simpatisan, kader biasa, kader lanjutan, hingga pimpinan cabang, daerah, wilayah, dan pimpinan pusat.

Proses inilah yang akan membentuk calon legislatif dan calon presiden/kepala daerah. Bukan sebaliknya, mendukung calon non-kader dalam pemilu/pilpres/pilkada. Penguatan ideologi parpol dan kaderisasi adalah kunci membenahi infrastruktur politik di Indonesia. Dengan demikian, ada korelasi antara perbaikan taraf kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan instrumen dalam sistem politik.

Ketiga, meritokrasi baru bisa dibangun dengan komitmen segenap pihak. Konflik dan kompetisi yang timbul harus bisa diserap dan diakumulasi sebagai pembelajaran sebagai sistem politik.

Saat ini konflik politik dalam negeri terkadang belum sehat dan dewasa. Semangat yang melandasinya masih bersifat pemenang mengambil semuanya. Budaya demokrasi harus dibangun dengan upaya mengurangi tendesi konflik. Dalam konflik politik, pemenang harus mau merangkul dan menghormati yang kalah. Juga membangun kerja sama politik dengan yang kalah. Sementara pihak yang tidak menang harus dapat menghargai hasil kompetisi. Rela dan ikhlas memaknai kekalahannya.

Keempat. harus diberlakukan suatu sistem reward dan punishment di semua fungsi kepartaian dari sistem rekrutmen, regenerasi, jenjang karir, sampai penetapan calon kepala daerah bahkan calon presiden.

Sistem meritokrasi harus dimulai dari hilir yaitu berkaitan dengan transparansi kepada publik. Transparansi itu bisa berupa laporan kinerja dari para wakil rakyat dan transparansi laporan keuangan dari partai kepada publik. Hal ini bisa dilakukan melalui instrumen media secara berkala.

Transparansi ini akhirnya akan memaksa partai untuk bekerja secara efektif dan efisien berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang mereka miliki karena ada pertanggungjawaban yang harus mereka kejar. Dari situ akan terbangun sebuah rule of conduct, rule of law and rule of ethics yang akan menopang berjalannya sistem tersebut.

Apabila sistem meritokrasi tersebut sudah berjalan, barulah kemudian membangun sebuah struktur pembagian fungsi di partai yang akan lebih bersifat aplikatif untuk optimalisasi kinerja. Sebagai contoh kita bisa membagi struktur partai menjadi tiga fungsi yaitu eksekutif, legislatif, dan fungsi profesional.

Dengan pembagian ini, kader-kader akan mulai bekerja secara internal sesuai dengan cita-cita mereka ketika akan terjun di hadapan masyarakat (entah legislatif atau eksekutif). Sementara orang-orang yang memang lebih memiliki keinginan berkembang secara organisasional akan fokus kepada kerja-kerja profesional partai.

No comments:

Post a Comment