Monday, November 25, 2013

DOSEN UI: KITA PUNYA WAKIL RAKYAT, TAPI TIDAK TERWAKILKAN

Jakarta - Para anggota dewan yang duduk di gedung DPR sudah tentu orang-orang yang dipilih sebagai wakil rakyat saat pemilihan legislatif. Sayangnya, meski memiliki wakil rakyat rakyat Indonesia sendiri sebenarnya tak terwakilkan.

"Kita semua kalau ditanya apakah memiliki wakil rakyat? Harus dikatakan ya. Namun, apakah kita merasa terwakilkan dengan mereka, saya yakin jawaban kita semua jelas. Tidak," kata dosen Ilmu Politik UI, Nur Iman Subono dalam acara seminar di kantor Lipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2013).

Menurut Bono, sangat minim masyarakat di Indonesia yang merasa memiliki wakil rakyat karena kurangnya interaksi yang ada. Para wakil rakyat ini hanya muncul menjelang pemilihan legislatif.

"Karena itu saya mengatakan kita masih punya persoalan defisit demokrasi di masyarakat," terangnya.

Selain itu, ketidakterwakilan ini juga dikatakan Bono erat kaitannya dengan sistem demokrasi oligarki yang saat ini semakin banyak di Indonesia. Akhirnya prilaku politik yang terjadi hanya prilaku konsumtif namun tak jelas substansinya apa.

"Kebanyakan sekarang adalah konsumen demokrasi. Tapi pertanyaannya apa yang anda hasilkan dari duduk di parlemen. secara prosedural tidak bisa dibantah Indonesia memang sudah demokrasi. Tapi secara substansial, itu yang belum terjadi," pungkasnya

Sunday, November 24, 2013

KORUPSI DI PARPOL TERJADI KARENA KEGAGALAN REKRUTMEN - (INDIKASI GAGALNYA PENGKADERAN DI PARTAI POLITIK?)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Solidaritas Peduli Indonesia (Sorpindo), Agung Suprio menganggap Partai Politik yang ada sekarang bisa disebut gagal dalam melakukan regenerasi. Akibatnya, kasus korupsi masih saja terus terjadi di lingkungan partai.

Pada acara pemaparan hasil riset Sorpindo mengenai Partai Politik Terkorup di Indonesia di kantor Sorpindo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/11/2013), Agung menilai partai kerap pragmatis dalam merekrut kadernya. Hanya karena popularitas atau kekuatan finansial seseorang bisa menjadi kader partai tanpa dilihat latar belakangnya yang cela.

"Mereka yang memiliki dana, popularitas bisa diangkat tanpa mengetahui latar belakangnya. Partai tidak memiliki nuansa bersih karena itu," katanya.

Oleh karena itu banyak pemuda yang berpotensial namun tidak memiliki popularitas maupun kekuatan finansial, gagal bergabung dengan partai. Pragmatisme itu kata Agung merupakan salah satu penyebab gagalnya reformasi.

"Kalaupun ada kaum muda yang masuk, mereka membunuh dirinya sendiri karena gagal mengemban amanat. Seperti Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin yang terlibat korupsi," ujarnya.
Kegagalan partai berikutnya menurut Agung adalah kegagalan partai dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat, sehingga hingga kini masyarakat masih terus permisif terhadap kasus-kasus korupsi.
"Budaya di Indonesia tidak melihat korupsi sebagai sesuatu yang mengerikan. Beda dengan maling ayam. Sehingga ada yang mengusulkan jangan namanya Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi komisi perampok uang rakyat," katanya.

Agung menambahkan untuk mengantisipasi hal itu, kiprah KPK yang terus memberantas korupsi, dan media masa yang terus mengawal lambat lain dapat merubah sifat-sifat jelek partai politik.

Saturday, August 24, 2013

PEMILIH CERDAS, SAATNYA SEKARANG !!

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pemilu legisltaif tahun 2014. Daftar ini memuat 6.607 calon legislator dari 12 partai politik yang akan memperebutkan 560 kursi DPR RI. DCT ini sudah disusun berdasarkan hasil dari masukan masyarakat terhadap daftar sementara yang sebelumnya telah diajukan oleh masing-masing partai politik.Daftar ini memuat 90% muka-muka lama DPR yang mencalonkan diri kembali untuk duduk di DPR. Prestasi mereka ini tentunya sudah bisa dievaluasi dengan mudah.

Setelah nama-nama diumumkan, saatnya partisipasi aktif masyarakat untuk memilih dan menyeleksi mereka untuk menjadi wakil di DPR. Lewat berbagai sarana, masyarakat kini dapat dengan lebih mudah untuk mengenal masing-masing figur untuk menjadi pilihan. Bahkan KPU melalui websitenya www.kpu.go.id telah menyediakan informasi tentang para calon legislator yang masuk dalam DCT lengkap dengan riwayat hidup masing-masing.

Ini adalah momentum yang baik bagi kita untuk mewujudkan parlemen yang bersih dan memperbaiki citranya yang sudah terpuruk karena didera oleh berbagai macam berita korupsi yang kita baca diberbagai media. Pemilih janganlah mudah tergiurdengan janji-janji dan informasi yang disampaikan dengan cara membentuk opini publik oleh calon tertentu. Pemilih hendaknya dapat mulai berpikir secara cerdas untuk lebih mendalami, mengerti, dan mempelajari rekam jejak mereka selama ini. Janganlah menjatuhkan pilihan pada calon yang cenderung untuk memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya atau calon yang hanya mengingat rakyat pada saat pemilihan akan berlangsung. Demikian pula calon yang sudah mempunyai rekam jejak kurang baik, seperti tersangkut masalah korupsi, kriminalitas, ataupun moralitas.

Momen pemilu hendaknya dijadikan awal bagi perjuangan kita untuk melakukan langkah-langkah perbaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan negara yang bersih dari korupsi. Kecerdasan sebagai pemilih hendaknya sudah kita persiapkan dari sekarang, pelajari dan teliti rekam jejak para calon kita di parlemen mendatang. Karena kepada merekalah kita akan menitipkan aspirasi dan suara untuk turut serta bersama dalam perjalanan pembangunan negara ini.

Pemilih cerdas, saatnya sekarang!!...

PEMBATASAN MASA KEANGGOTAAN LEGISLATIF, SUDAH DIPERLUKANKAH?

Saya begitu terkejut membaca berita di beberapa media online mengenai telah dikeluarkannya dokumen audit BPK atas proyek fasilitas olah raga Hambalang yang didalamnya menyebutkan bahwa ada 15 orang anggota DPR dari komisi X diduga menerima sejumlah dana sehubungan dengan penambahan anggaran di APBN perubahan 2010. Berita ini menjadi pelengkap atas berita yang menyebutkan bahwa berdasarkan data ICW untuk tahun 2011, jumlah pelaku korupsi dari kalangan DPR/DPRD sebanyak 99 orang.
Betapa memprihatinkannya citra parlemen kita dimata rakyat yang diwakilinya. Kenyataan bahwa "power tends to corrupt" ternyata tidak hanya berlaku untuk eksekutif saja, legislatif yang mempunyai wewenang sebagai pengesah anggaran, ternyata mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam jalannya roda pemerintahan. Karena keputusan yang diambil oleh DPR adalah keputusan kolektif kolegial, maka dugaan korupsi yang dilakukan oleh lembaga inipun terkesan dilakukan beramai-ramai.

Menarik saya kutip dari media online detik.com apa yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar, bahwa tanggung jawab atas pengesahan proyek inipun bukanlah tanggung jawab perorangan tetapi adalah tanggung jawab bersama.
"Ya itu tadi mungkin ada perbedaan persepsi, mereka menganggap kalau ada surat pengantar atau persetujuan rincian anggaran, itu yang tanda tangan yang tanggung jawab sendiri. Itu kan tanggung jawab rame-rame," ujar Rully usai menjalani pemeriksaan di KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (23/8). 

Adanya fenomena permainan anggaran seperti ini tampaknya akan selalu menjadi magnet bagi mereka yang ingin duduk di kursi legislatif. Bisa dibayangkan berapa banyaknya proyek yang harus melalui DPR untuk dibahas dan disahkan. Bahkan tidak jarang beberapa kepala daerah sengaja "menitipkan" agar daerahnya dapat alokasi sejumlah anggaran tertentu kepada para legislator.

Bagi para anggota DPR yang sudah merasakan nikmatnya menjadi legislator, temtunya ingin terus mempertahankan kursinya. Kekuatan materi berlimpah yang sudah dikumpulkan dapat digunakan untuk mempengaruhi konstituennya agar memilih mereka kembali duduk di parlemen. Ini terlihat dari fakta yang diperoleh dari KPU, bahwa 90% caleg di Daftar Calon Tetap (DCT) adalah muka-muka lama DPR. Akankah kita dapat berharap banyak bahwa fenomena korupsi beramai-ramai ini akan hilang di era parlemen mendatang apabila mereka yang duduk masih "orang-orang yang berpengalaman"?.

Karena itu sudah saatnya aturan pembatasan masa keanggotan legislatif dibuat. Presiden saja sudah dibatasi untuk dua periode, tidak ada salahnya apabila legislator pula dibatasi untuk masa dua periode saja. Rakyat yang diwakilinyalah yang akan menilai apabila setelah satu periode sang legislator menunjukkan prestasi yang baik, maka rakyat dapat memilihnya kembali. Tetapi apabila sudah terpilih untuk kedua kalinya, maka sudah waktunya bagi sang legislator untuk menyerahkan kursinya kepada orang lain yang tentunya tidak kalah baik bahkan harus yang lebih baik lagi. Dalam hal ini, peran partai politik sangatlah menentukan. Setiap anggotanya yang duduk di parlemen dan telah duduk selama dua periode, otomatis harus sudah dicoret dalam daftar calon legislatif untuk periode berikutnya. Mekanisme rekrutmen calon legislatif juga harus lebih diperhatikan, agar mereka yang kelak lolos ke parlemen adalah memang kader-kader pilihan terbaik.


Saturday, July 20, 2013

ICW RILIS 36 CALEG ANTI-PEMBERANTASAN KORUPSI

Haluankepri.com, Minggu, 30 Juni 2013 00:00

JAKARTA— Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Marzuki Alie mempertanyakan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait 36 politisi yang akan kembali maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2014. ICW menyebut ke-36 orang itu tak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Menurut Marzuki, data ICW dibuat dengan analisis yang lemah.

"ICW itu manusia-manusia biasa, bukan malaikat, bukan Tuhan yang bisa melihat hati kita," kata Marzuki di sela-sela Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Demokrat, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (29/6).

Ketua DPR ini menegaskan, di era demokrasi, semua orang memang memiliki hak untuk bebas berpendapat. Penilaian ada di masyarakat. "Yang penting masyarakat melihat selama ini apa yang saya lakukan, jadi tidak perlu diambil susah. Siang malam, setiap hari membina lembaga-lembaga, ormas-ormas untuk memberantas korupsi. Kurang apalagi," ujarnya.

Marzuki Alie ikut dicantumkan ICW dalam daftar 36 politisi bermasalah karena pernah menyampaikan wacana pembubaran KPK. Selain Marzuki, ada sembilan kader Partai Demokrat yang juga masuk dalam daftar itu. Salah satunya adalah Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhy Baskoro Yudhoyono alias Ibas.

Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana yang namanya juga ikut tercantum dalam daftar itu menyatakan partainya akan membahas dan menentukan sikap untuk merespons rilis yang dikeluarkan ICW. "Kami akan melakukan pertemuan. Kami akan mengajukan tuntutan hukum ke ICW sampai mereka minta maaf, dan bikin pernyataan kalau (data) itu salah," kata Sutan di tempat yang sama.

Sutan mengatakan, langkah hukum diambil karena ICW dianggap telah menyebar fitnah yang kejam. Hal itu dianggapnya merugikan kader secara personal dan partainya. "Kalau orang tidak melakukan korupsi, tapi dituduh, itu fitnah. Itu lebih kejam dari pembunuhan," ujarnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun menuding ICW telah mengeluarkan pernyataan yang berpotensi fitnah. Ia menantang ICW untuk menunjukkan hasil kerja sebelum menilai orang tidak memiliki komitmen memberantas korupsi. "ICW jangan asbunlah (asal bunyi). Coba, apa yang sudah dilakukan ICW? Apa fakta yang bisa dia lakukan? Jangan asal ngomong saja," kata Jhonny.

Jhonny menilai ICW telah melakukan suatu hal yang licik karena mengeluarkan pernyataan miring tanpa landasan jelas. Namun begitu, ia mengaku tak akan memerkarakan masalah ini ke jalur hukum. Menurut Jhonny, cara terbaik untuk meluruskan pernyataan ICW adalah dengan cara berdebat. Dalam forum itu, kata Jhonny, akan terkuak jelas apa yang telah diperbuat untuk kebaikan rakyat. "Mari kita bicara, jangan berasumsi-asumsi, gunakan fakta. Bicara yang obyektif, jangan subyektif dalam menilai seseorang," ujarnya.

Ibas dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Max Sopacua tak ambil pusing soal tudingan ICW bahwa nama mereka termasuk caleg yang memiliki komitmen antikorupsi rendah. Bagi keduanya, ICW memiliki hak menyampaikan pendapat, tetapi semuanya ia serahkan kepada masyarakat yang menilai. "Itu kan olahan ilmiah ICW, saya kira itu sebuah kajian mereka. Masak kajian dibantah. Biar saja, yang nilai kan rakyat" kata Max.

Max menegaskan, pihaknya tak akan terganggu dengan rilis 36 caleg yang memiliki komitmen rendah terhadap pemberantasan korupsi. Pasalnya, kajian yang dilakukan ICW dianggapnya tidak memiliki dasar yang kuat. "Seseorang, misalnya, mengkritik sesuatu, masak langsung dikatakan tidak mendukung pemberantasan korupsi? Apa semua kita ini malaikat? Tapi silakan saja, terima kasih ICW," ujarnya.

"Dicek dulu kebenarannya (data ICW-red)," kata Ibas. Namun Ibas enggan berkomentar lebih lanjut. Dia dikawal ketat Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres). Putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu disebut ICW anti-pemberantasan korupsi lantaran mantan anggota Komisi I DPR itu melaporkan saksi kunci kasus korupsi, Yulianis, ke polisi.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hanura Syariffudin Sudding menilai ada upaya ICW untuk mengalihkan isu RUU Ormas dengan melansir 36 nama anggota DPR yang dianggap tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan kasus korupsi.

Di dalam RUU Ormas turut diatur tentang audit atau transparansi pendanaan ormas, terutama ormas yang mendapatkan dana dari asing. Isu inilah yang kemungkinan hendak diendapkan oleh ICW. "Saya tahu pola-pola kerja pengalihan isu, yang saat ini lagi pengesahan RUU Ormas dimana di dalamnya juga diatur NGO/LSM  yang menerima bantuan dana asing atau bekerja sama dengan NGO asing," kata  saat dihubungi Jumat (28/6) malam.

Untuk menindaklanjuti tudingan tersebut, Senin besok Ketua Fraksi Partai Hanura ini akan segera melaporkanya ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dengan tuduhan menyebarkan fitnah. "Rilis yang dikeluarkan ICW ini harus dibuktikan lewat jalur hukum dan saya siap menempuh julur hukum tersebut untuk tidak seenaknya ICW melakukan tudingan dan fitnah terhadap seseorang," ancamnya.

Sudding termasuk salah satu dari 36 nama tersebut. Dia dianggap tidak berpihak pada KPK karena mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan kewenangan lembaga tersebut. "Revisi UU KPK tidak dalam konteks melemahkan KPK akan tetapi ini untuk mensinergikan antarinstitusi penegak hukum sehingga tidak terjadi kegaduhan dalam penegakan hukum yang dilakukan antarpara penegak hukum seperti kasus cicak-buaya," sangkalnya.

Anggota Komisi III DPR dari PKS Fachri Hamzah yang namanya juga terdapat dalam daftar yang dirilis ICW menuding ICW melakukan kampanye hitam karena mengeluarkan data tanpa dialog dengan nama-nama yang disebut. "ICW yang antidialog dan menolak perbedaan pendapat itu sama saja dengan kelakuan aktifis yang memakai kekerasan dalam dialog baru-baru ini," kata Fachri.

Nama Fachri masuk dalam daftar 36 nama tersebut karena dianggap selalu menghalang-halangi kinerja KPK. "Tempat cari makan utama ICW sekarang adalah KPK, karena itu mereka terpukul sekali kalau ada kritik kepada KPK. Mereka tidak percaya demokrasi atau perbedaan pendapat, otoriter dan mengidap semacam dendam kepada orang yang berbeda," kata Fachri.

Bantah Terima Pesanan

Peneliti ICW Abdullah Dahlan menyatakan, pihaknya tidak menerima pesanan saat menggelontorkan data tentang 36 caleg yang komitmen antikorupsinya dianggap lemah. Menurutnya, ICW hanya ingin wajah parlemen ke depan menjadi lebih baik.

"Jadi apa yang kami lakukan adalah untuk mendorong Parlemen ke depan diisi figur yang benar-benar berkomitmen dalam agenda antikorupsi. Jadi, ICW tidak dalam kepentingan atau (menerima) pesanan pihak mana pun," kata Abdullah saat dihubungi.

Lebih jauh, Abdullah juga mengaku tak khawatir dengan ancaman sejumlah orang yang akan menggugat ICW atas tuduhan telah menyebarkan fitnah. Baginya, data itu dikeluarkan dengan dasar yang jelas. Abdullah pun berharap data tersebut menjadi rujukan publik dalam memilih anggota legislatif pada 2014. "Apa yang kami sampaikan merupakan bentuk keraguan atas komitmen para caleg yang masuk dalam DCS (daftar calon sementara). Terkait ada yang mau menggugat, itu hak mereka," ujarnya.

Setidaknya ada lima kategori yang digunakan ICW untuk merangkum daftar caleg yang terindikasi lemah komitmennya pada pemberantasan korupsi. Kelima indikator itu yakni politisi yang namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terlibat serta atau turut menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi dan politisi bekas terpidana kasus korupsi.

Lainnya adalah politisi yang pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR, politisi yang mengeluarkan pernyataan di media yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan politisi yang mendukung upaya revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan lembaga tersebut.

Saat dikonfirmasi, beberapa nama yang tercantum membantah dan menuding ICW telah melemparkan fitnah atas pesanan pihak tertentu. Karena itu, ada juga pihak yang berencana menggugat ICW secara hukum. (kom/oke/l6)

36 Caleg Bermasalah Versi ICW:

Demokrat: 10 orang
1. Edhie Baskoro Yudhoyono
2. Mirwan Amir
3. Jhonny Allen Marbun
4. Achsanul Qosasi
5. Ignatius Mulyono
6. Muhammad Nasir
7. Sutan Bhatoegana
8. Marzuki Alie
9. Max Sopacua
10. Mahyudin

Golkar: 9 orang
1. Aziz Syamsuddin
2. Bambang Soesatyo
3. Idris Laena
4. Nurdiman Munir
5. Setya Novanto
6. Kahar Muzakir
7. Melchias Marcus Mekeng
8. Priyo Budi Santoso
9. Charles Jonas Mesang

PDIP: 5 orang
1. Herman Hery
2. I Wayan Koster
3. Said Abdullah
4. Olly Dondokambey
5. Ribka Tjiptaning

PKS: 4 orang
1. Zulkieflimansyah
2. Adang Darajatun
3. Fachri Hamzah
4. Nasir Djamil

Gerindra: 3 orang
1. Desmond J Mahesa
2. Vonny Anneke Panambunan
3. Pius Lustrilanang

PPP: 2 orang
1. Ahmad Yani
2. M Achmad Farial

Hanura: 1 orang
1. Syarifuddin Sudding

PKB: 1 orang
1. Abdul Kadir Karding

PBB: 1 orang
1. Nazaruddin Sjamsuddin

http://www.haluankepri.com/nasional/48486-icw-rilis-36-caleg-anti-pemberantasan-korupsi.html

Sunday, July 7, 2013

POLITIK INDONESIA: BERGERAKLAH MENUJU MERITOKRASI


Posting saya sebelum ini ("Mengganti Pencitraan dengan Meritokrasi", oleh Inggit Sugiarti, www.radarlampung.co.id/read/opini/51600-mengganti-pencitraan-dengan-meritokrasi) benar-benar membuat saya terhenyak, bahwa negara kita tercinta ini telah membangun suatu sistem yang dibangun dengan pondasi berbedak tebal. Bukannya struktur pondasi yang dibuat kokoh dan kuat, tetapi permukaan lantai bangunannya yang dibuat mewah dan mengkilap.

Semua instrumen bangsa ini telah mengambil andil atas sistem yang menyilap mata untuk selalu menilai segala sesuatu dari sisi gemerlap. Penguasa sebagai seorang "leader" tak lebih hanya mengedepankan citra daripada manfaat yang seharusnya dibuat bagi rakyatnya. Di sisi lain, mereka sebagai pengusung si penguasa (baca: partai politik), juga sibuk memoles jagoannya dengan kosmetik yang tak kalah tebal. Bukan kompetensi lagi yang dicari, tapi kompensasi yang dibidik. Kompensasi yang didapat dari sebuah kekuasaan lebih menarik bagi para pengusung daripada menciptakan kehidupan bernegara yang lebih baik seperti yang diamanatkan oleh cita-cita luhur pendiri bangsa ini. 

Bagi saya, disinilah arti penting bagi "rakyat" dalam menentukan apa yang terbaik bagi masa depannya. Walaupun rakyat sebagai pemilih juga mempunyai andil bagi jalannya sistem pencitraan saat ini, sehingga sudah saatnyalah rakyat diberikan pendidikan politik yang lebih sehat. Sudah tidak jamannya lagi politik uang, politik sembako, ataupun politik intimidasi lainnya. 

Rakyat juga harus diberikan kesadaran untuk selalu mendorong para tokoh yang mempunyai kapabilitas dan kejujuran untuk tampil maju dalam mengelola negara ini. Saya 100% yakin dorongan rakyat akan membuat para pengusung dan penguasa/calon penguasa menjadi sadar adanya, bahwa masih ada hati nurani rakyat yang bicara, menyuarakan kejujuran, keadilan dan menuntut perbaikan ke arah yang lebih baik, bagi bangsa tercinta ini. Tuhan pun tidak akan merubah nasib suatu bangsa, melainkan bangsa itu sendiri yang merubahnya. Mari bersama berubah!.

Friday, June 28, 2013

"HOBI" BARU ANGGOTA DPR: CERAMAHI KPK, LALU "HILANG"

Penulis : Sabrina Asril
 
JAKARTA, KOMPAS.com — Kamis (27/6/2013) pagi hingga petang, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bulan-bulanan para politisi di parlemen. Mereka hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR.

Rapat-rapat kerja, yang biasanya sepi kehadiran anggota DPR, kali ini diikuti tak kurang oleh 20 orang. Saat sesi pertanyaan dibuka, sebagian politisi ini sangat bersemangat melontarkan kritik dan pertanyaan.

Ada yang mengkritik proses penyadapan hingga mempertanyakan kasus yang melibatkan petinggi salah satu partai. Banyaknya pertanyaan membuat Wakil Ketua Komisi III dari FPKS Al-Muzzammil Yusuf sampai membuka dua termin.

Sesi pertanyaan dari Fraksi PKS menyedot perhatian. Dua politisinya, Fahri Hamzah dan Aboebakar Alhabsy, begitu vokal "menyerang" lembaga antikorupsi itu. Keduanya pun sama-sama menuding KPK sewenang-wenang melakukan penyadapan.

Fahri bahkan menyebut KPK telah melakukan dosa besar. Ayat Al Quran dikutipnya sebagai penguat, lengkap dengan terjemahan.

Saat sesi sudah akan ditutup, politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, tiba-tiba datang dan meminta waktu lima menit untuk ikut berbicara. Bukan Ruhut namanya kalau tidak bisa "meluluhkan hati" para politisi yang ada.

Meski waktu sudah menunjukkan saatnya shalat Ashar dan Ketua KPK Abraham Samad meminta rapat diskors, Muzzamil tetap mengizinkan Ruhut berbicara. Bila sesi sebelumnya penuh kritik, Ruhut sebaliknya justru bicara dengan penuh puja-puji kepada KPK, terutama terkait penanganan skandal Bank Century.

Ruhut menilai KPK sudah bekerja "on the track" dalam penanganan kasus pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun itu. "Partai Demokrat mendukung penuh KPK, ada yang katakan kami takut KPK bongkar Century. Tidak betul, Demokrat tak takut sama sekali," imbuh dia.

Setelah Ruhut usai "berpidato", Muzzammil mengetok palu tanda bahwa rapat diskors untuk waktu shalat dan istirahat hingga pukul 19.00 WIB. Semua pun bubar. Para wakil rakyat ini sontak langsung meninggalkan ruangan.

Pimpinan KPK yang hadir, seperti Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja lebih memilih bersantai bersama wartawan, di mushala kecil berukuran 5 x 4 meter.

Pukul 19.00 WIB pun tiba. Pimpinan KPK bersama Muzzammil serentak memasuki ruang rapat di lantai II Gedung Nusantara II DPR. Ternyata, tak ada satu pun anggota dewan yang hadir.

Pimpinan KPK dan Muzzammil memutuskan menunggu selama 15 menit. Waktu berlalu, hanya empat anggota muncul. Keempat anggota itu adalah Martin Hutabarat dari Fraksi Partai Gerindra, Syarifuddin Sudding dari Fraksi Partai Hanura, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan Fahri Hamzah dari Fraksi PKS. Selebihnya entah ke mana.

Akibat sedikitnya anggota dewan yang hadir dan ada staf KPK yang meninggal dunia, Muzzammil memutuskan rapat dihentikan. Dibuka satu menit, rapat langsung ditutup. Tanpa ada kesimpulan. KPK dipersilakan memberikan jawaban tertulis atas belasan pertanyaan anggota Komisi III DPR.

"Kami malu sebenarnya, dari tadi pagi sudah semangat nanya sampai Fahri tadi ngaji ceramahin KPK, yang lain juga kritik KPK. Tapi begitu KPK mau jawab pertanyaan satu-satu, orang yang nanya udah nggak ada," celetuk Martin kepada wartawan sembari keluar ruangan.
Editor : Palupi Annisa Auliani

http://nasional.kompas.com/read/2013/06/28/0207261/.Hobi.Baru.Anggota.DPR.Ceramahi.KPK.Lalu.Hilang.

Monday, June 24, 2013

BIAYA CALEG PICU KORUPSI

JAKARTA – Semakin tingginya biaya politik yang tinggi dalam proses pemilihan umum (Pemilu)  menjadi beban politisi dan partainya, diprediksi bakal berimbas pada maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aktor politik. Karena itu, bukan tidak mungkin jika biaya pencalegan 2014 makin membengkak, maka jumlah anggota DPR yang terjerat kasus korupsipun makin banyak. 
”Sudah jadi rahasia umum jika modal pencalonan itu harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Akses pada kekuasaan dan anggaran yang lebih dekat, pasti akan menggoda para politisi, terutama di DPR. Karena itu, wajar jika banyak tersangka korupsi adalah aktor politik,” papar Pengamat politik Point Indonesia Karel Harto Susetyo kepada INDOPOS (Grup JPNN), Minggu, (23/06).

Karel memprediksi, caleg yang saat ini namanya sudah terdaftar di Daftar Caleg Sementara (DCS), saat ini sedang pusing dalam persoalan pendanaan, terutama caleg baru atau bukan incumbent yang sudah berpengalaman dan sudah mempersiapkanya jauh-jauh hari. Pasalnya, untuk menjadi anggota DPR saja minimal dibutuhkan dana Rp 1,5 miliar.

”Bukan dana yang sedikit dan itu harus sudah dipersiapkan para caleg dalam bentuk cash. Dan yang bisa mempersiapkan dana tersebut dengan cepat, yaitu mereka rata-rata yang memiliki background sebagai pengusaha. Jika aktivis atau pekerja partai saya rasa sulit, jelas mereka tak sanggup,” tuturnya.

Karena itu, dirinya memprediksi mayoritas caleg yang nantinya akan duduk di DPR pada periode 2014 – 2019 adalah mereka para pengusaha dan incumbent. Paling banyak wajah baru yang menghuni DPR nantinya tidak kurang dari 25 persen. ”Wajah lama akan tetap mendominasi, karena mereka lebih pengalaman. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan lebih ketat pada lembaga legislatif agar bisa dicegah terjadinya praktek korupsi yang menyeret anggota dewan itu sendiri,” jelasnya.

Jika tidak ada aturan yang lebih ketat untuk bisa mencegah terjadi praktek korupsi di lingkungan parlemen, lanjut Karel, maka bukan tidak mungkin citra DPR akan semakin rusak saja karena banyak oknum anggotanya yang terseret kasus korupsi. ”Butuh pencegahan sejak dini, karena itu KPU juga harus bisa mengetahui sumber dana calegnya. Ini agar bisa dicegah terjadinya praktek balas budi atau pengembalian modal pada para bohir,” jelasnya.

Di lain tempat, Pengamat politik asal Universitas Indonesia (UI) Donny Tjahja Rimbawan saat diskusi Institut Transparansi Kebijakan (ITK) di Cikini, mengkalkulasi dalam pengelolaan partai politik (parpol) saja selama lima tahun biaya yang harus dikeluarkan oleh parpol berkisar Rp 188,700 miliar untuk keberadaan kantor parpol di kabupaten/kota dan ibu kota provinsi. ”Itu sebatas dana untuk merawat konstituen dan kantor DPP. Sementara biaya lebih besar juga dikeluarkan oleh para caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD. Ini setidaknya jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp 160,120 triliun,” papar Rimbawan.

Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) baik untuk menjadi bupati, wali kota maupun gubernur biaya yang dikeluarkan para calon juga begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa. ”Untuk pilkada setidaknya dana yang gelontorkan di seluruh Indonesia mencapai Rp 23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar dan seorang calon bupati / wali kota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar,” terangnya. (dms)
 

Monday, June 10, 2013

“PAK DAHLAN, GAJINYA DITRANSFER?”

Oleh: Yayat Cipasang
 
ENTAH iseng atau serius ketika anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS Refrizal mengungkit gaji Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan saat menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero). Refrizal seolah mengingatkan kembali memori bangsa ini ketika Dahlan menyatakan tidak akan menerima gaji sebagai orang nomor satu di perusahaan setrum tersebut.
 
Saat itu Dahlan menyatakan jabatan itu adalah amanah dan karena kekayaan sudah cukup alias kaya-raya, menjadi Dirut PLN hanya sebagai bentuk pengabdian. Tentu pernyataan pendiri dan pemilik Grup Jawa Pos itu seperti  biasa mengundang decak kagum dan juga sudah pasti ada yang menyebut  sebagai pencitraan.
 
“Toh, gaji itu sudah diatur. Saya ngak pernah dengar Perdana Menteri Inggris, Perdana Menteri Prancis, Perdana Menteri Jepang dan Presiden Amerika Serikat menolak gaji. Ini di negara miskin ada pejabat yang nolak gaji,” komentar masyarakat saat itu.
 
Nah, Refrizal sepertinya masih ingat soal janji  Dahlan yang tidak akan menyentuh gajinya selama menjadi Dirut  PLN dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, belum lama ini.  ”Saya hanya mengklarifikasi saja Pak  Dahlan. Apakah betul  saat menjabat Dirut PLN tidak menerima gaji?” tanya Refrizal. “Tidak mengambil atau memang ditransfer?”
 
Refrizal memiliki alasan mempersoalkan gaji Dahlan selama menjadi Dirut PLN. Menurutnya,  alokasi gaji itu sudah baku dan jelas aturannya. Jangan sampai gaji yang bersumber dari anggaran negara dan tentu saja pajak rakyat mungkin di dalamnya ada pajak dari anak buah Dahlan di Grup Jawa Pos, disalahgunakan.
“Itu kan duit negara, posisi duit itu harus jelas. Ada  dimana atau disimpan di rekening siapa. Kan harus jelas,” cerocos Refrizal.
 
Dahlan hanya mesem-mesem mendengar Refrizal berceloteh. “Itu terlalu pribadi,” kata Dahlan.
Dahlan mengaku, ketika ditunjuk Presiden sebagai Dirut PLN saat itu sempat menyampaikan ’syarat’  kepada Presiden SBY agar tidak menerima gaji. Dengan alasan Dahlan tidak ingin kerja cari uang. “Karena sudah diberi tambahan umur saja saya bersyukur. Nah, kalau nanti di PLN kan harus terima gaji. Boleh nggak saya tidak terima gaji,”  kata Dahlan, memohon.
“Nah, saat itu Bapak Presiden menyampaikan, ikut peraturan saja. Kemudian direksi menyimpan uang di rekening tertentu. Nah setelah saya meningggalkan PLN saya tidak menanyakan itu. Setelah saya enam bulan tidak menjadi Dirut, saya diberi tahu uang itu harus diapakan. Setelah itu saya kirim surat ke KPK dan ke PPATK minta izin agar uang itu saya gunakan untuk membangun madrasah dan penelitian.  Belum habis masih ada separo,” paparnya.
 
Rapat bubar, tak ada anggota Komisi VI yang menanaykan madrasahnya apa namanya dan dimana serta penelitian apa. “Mau apa lagi itu duit hak dia,” celetuk seorang anggota Komisi VI. “Cocok ditiru untuk kampanye tuh,” timpal yang lain.
 
Hadeuh. Dunia ini memang pangggung pencitraan
 

Sunday, April 7, 2013

SURVEI : ANGGOTA DPR HANYA WAKILI PARTAINYA


Penulis : Lariza Oky Adisty | Kamis, 21 Maret 2013 | 00:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Jelang Pemilihan Umum 2014, masyarakat kelas menengah Indonesia rupanya menganggap anggota DPR hanya mewakili partai ketimbang aspirasi rakyat. Survei yang digelar Publica Research and Consulting menggambarkan penilaian tersebut.
"Penilaian ini juga akan memengaruhi pilihan warga kelas menengah dalam pemilu legislatif mendatang," ujar Direktur Riset Publica Research and Consulting, Rahadi T Wiratama, Rabu (20/3/2013). Survei ini mendapatkan data 84,1 persen responden menilai anggota DPR hanya mewakili partai, dan hanya 8,4 persen responden menyatakan anggota DPR memang mewakili rakyat.
Survei juga mendapatkan data 53,6 persen responden berpendapat tidak ada satu pun partai politik peduli pada kepentingan masyarakat. Penilaian tertinggi masih adanya kepedulian partai politik pada kepentingan publik, tak sampai 10 persen responden. Untuk penilaian kepedulian partai politik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapatkan dukungan tertinggi dengan 8,2 persen, disusul Partai Demokrat dengan 6,8 persen dukungan. Adapun PKS, Partai Golkar, Partai Hanura, PAN, PPP, dan PKB mendapat penilaian kepedulian kurang dari lima persen responden.
Rahadi juga mengatakan mayoritas responden survei yang digelar pada 18-21 Februari 2013 ini menyatakan belum menentukan pilihan pada Pemilu 2014. "(Sebanyak) 25,4 persen responden menjawab rahasia, sementara 34,4 persen menjawab belum tahu. (Akumulasi keduanya) ini lebih banyak dibandingkan dengan yang telah menetapkan pilihan," kata dia. Dari responden yang sudah menetapkan pilihan, 7,2 persen responden memilih PDI-P, 6,2 persen memilih Partai Demokrat, dan 6 persen memilih Partai Gerakan Indonesia Raya.
Survei melibatkan 1.300 responden, dengan rentang kesalahan pada kisaran plus-minus 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden survei ini pun menunjukkan ketidakpuasan pada kinerja anggota Dewan. Untuk kerja legislasi, ketidakpuasan dinyatakan oleh 35,1 persen responden, penyusunan anggaran oleh 36,5 persen, pengawasan kinerja Pemerintah 30,8 persen, serta mewakili kepentingan rakyat 39,5 persen.

Saturday, March 16, 2013

MARI KEMBALI KE SISTEM NOMOR URUT


Bukanlah suatu yang mengejutkan apabila beberapa waktu yang lalu PPATK merilis laporan bahwa ada 74 orang anggota dewan yang msing-masing terdiri dari 33 orang anggota DPR dan 41 orang anggota DPRD, yang terindikasi memiliki transaksi mencurigakan. Bagi saya hal ini adalah sesuatu yang memprihatinkan. Sejatinya, anggota dewan yang terhormat adalah representasi dari rakyat yang diwakilinya. Salah satu tugas mereka adalah mengawasi penggunaan uang negara yang dikumpulkan dari uang rakyat.

Dari total 33 anggota DPR periode ini, sebanyak 21 orang di antaranya adalah pemimpin dan anggota Badan Anggaran DPR. Sebanyak empat dari 21 orang anggota Badan Anggaran ini sudah dan sedang menjalani proses hukum berupa menerima keputusan inkracht, menjelang vonis, dan dalam proses penyelidikan. 

Apa yang dikatakan oleh mas Pramono Anung di postingan saya sebelumnya adalah benar adanya. Beliau mengungkapkan, untuk kampanye menjadi anggota DPR seorang calon legislatif (caleg)  biasanya menghabiskan dana Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar. Bahkan ada anggota DPR yang berani mengeluarkan biaya hingga Rp 10 miliar.

Besarnya biaya politik yang dikeluarkan para caleg tidak sebanding dengan gaji yang akan mereka terima saat menjabat anggota DPR. Gaji rata-rata perbulan anggota DPR sekitar 3000 dollar AS. Artinya dalam setahun seorang anggota DPR menerima  36000 dollar AS.

Sistem politik liberal yang sedang dijalankan saat ini memang memungkinkan calon legislator berkantung tebal akan lebih dikenal oleh pemilih sehingga dapat meraup suara yang lebih banyak dibandingkan dengan calon dengan dukungan dana yang minim. Masuk akal apabila isitilah “balik modal” dana kampanye haruslah menjadi tujuan yang penting dalam menjalankan “amanah” sebagai legislator.

Menarik apa yang menjadi usulan PAN melalui wakil sekjennya, mas Teguh Juwarno, yang mengusulkan agar pemilihan anggota legislator mengikuti sistem nomor urut, bukan melalui suara terbanyak. Teguh memaparkan fakta bahwa pada periode DPR 1999-2004 dan 2004 dan 2009 yang menggunakan sistem nomor urut, korupsi tidaklah separah pada periode ini.
http://www.tempo.co/read/news/2013/01/03/078451766/p-PAN-Ongkos-Politik-Mahal-Penyebab-Korupsi-DPR

Menurut hemat saya, ada beberapa segi positif yang bisa diambil dari sistem ini:
  1. Partai politik dapat menyusun calon legislatif berdasarkan peringkat kemampuan dan kapabilitas calon. Salah satu strategi partai politik dalam menjaring suara pemilih ádalah dengan memilih calon yang berkualitas. Cara meritokrasi ini dapat meningkatkan kualitas anggota lembaga legislatif sehingga dapat pula mengoptimalkan fungsi lembaga tersebut dalam sistem pemerintahan.
  2. Meminimalkan adanya politik uang, dimana seorang calon yang didukung dengan finansial yang kuat, tidak dapat menggunakannya untuk membeli suara. Karena suara pemilih akan dihitung berdasarkan nomor urut calon.
  3. Tidak adanya “keharusan” untuk mengembalikan dana kampanye yang sudah dikeluarkan pada saat nanti telah bertugas sebagai legislator. Ini tentunya dapat menurunkan angka korupsi yang selama ini terjadi di badan legislatif.
Disamping itu, pendidikan berpolitik yang sehat tentunya haruslah disosialisasikan pula kepada rakyat sebagai pemilih dan penentu dalam pemilu. Seperti ungkapan Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan), maka di atas semuanya itu, rakyatlah yang menentukan.

Thursday, February 14, 2013

POLITIK TUKANG JUAL OBAT

INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan

Politik tak lagi bermain di ranah riil kekuasaan, tetapi juga di jagat imajinasi dan persepsi publik.
Di situ, sosok sebuah partai politik dibaca. Negatif atau positifnya hasil bacaan itu sangat menentukan tingkat keterpilihan parpol. Maka, kini elektabilitas menjadi ”berhala” baru. Sebuah parpol yang sedang berkuasa mendadak pontang-panting dan panik ketika sebuah lembaga survei menyatakan tingkat elektabilitas parpol itu terjun bebas. Bahkan, ketua dewan pembina partai harus turun gunung menyelamatkan partainya yang babak belur di mata publik. Elektabilitas pun jadi persoalan genting.

Apa boleh buat, parpol kini tak lebih dari sebuah produk industrial. Agar selalu laku, parpol harus tampil berkilau dalam persepsi dan imajinasi publik. Dalam konteks ini, publik diperlakukan sebagai konstituen sekaligus konsumen politik yang hanya diperhitungkan ketika parpol perlu dukungan. Ini menunjukkan relasi parpol dan publik pendukung tidak ideologis, tetapi pragmatis. 

Pragmatisme politik mendorong para kadernya lebih bekerja sebagai ”tukang jual obat” daripada ideolog ketika harus mendongkrak elektabilitas parpolnya. Kerja ”tukang jual obat” lebih retoris dibandingkan substansial. Mutu produk dan khasiat obat tak terlalu penting. Hal yang diutamakan adalah cara memprovokasi publik agar (kembali) percaya pada ”khasiat” obat. Maka, muncullah istilah-istilah kunci ”kemujaraban”, seperti komitmen, integritas, dan kapabilitas. Tak penting, istilah itu justru bertabrakan dengan perilaku para kader yang punya hobi korupsi atau melumat konstitusi. 

Betapa menyedihkan jika ternyata sebagian (besar) politikus tak lebih dari tukang jual obat. Dan, obat yang mereka jual pun ternyata sama. Ciri pembedanya hanya merek dan kemasan. Ada yang nasionalis, nasionalis-religius, dan ada yang bercap agama. 

Jangan berharap cap-cap itu membawa konsekuensi pada kekuatan watak dan identitas khas parpol. Sebab, partai yang mengaku nasionalis ternyata tak sepenuhnya memiliki kadar nasionalisme tinggi. Begitu juga parpol yang berdasar agama. Ketika berhadapan dengan kekuasaan dan harta, mereka berperilaku sama: kemaruk. Yang religius dan nasionalis terbukti sama-sama doyan korupsi. Sebagai tukang jual obat yang piawai, mereka selalu gembar-gembor soal ”jaminan mutu” parpolnya; dari soal nasionalisme sampai akhlak. Semua parpol menentang korupsi, tetapi diam-diam melakukan korupsi. 

Ketika para politikus tak lebih dari tukang jual obat yang bermental korup, sejatinya bangsa ini sulit berharap terjadi konsolidasi demokrasi yang membawa kesejahteraan bagi rakyat. 

Akrobat politik 

Rakyat dipaksa menyaksikan akrobat politik lewat media massa dan media sosial. Rakyat yang tak pernah merasakan manfaat parpol dipaksa berempati terhadap sebuah parpol yang kini sedang terpuruk akibat tersandera korupsi. Seolah-olah kasus tersebut merupakan bencana nasional dan rakyat harus bela rasa. Sebaliknya, ketika rakyat dicekik harga-harga kebutuhan primer, parpol-parpol itu tak pernah risau, apalagi berbela rasa. Ironis dan sangat menyakitkan. 

Inilah akhir dari era parpol bermartabat, yakni kultur politik yang mengutamakan etika dan etos demi kemanusiaan dan peradaban. Kini, parpol bukan lagi entitas politik sekaligus wahana kultural yang memperjuangkan cita-cita sosial dan kultural, melainkan sekadar opelet omprengan untuk meraih kekuasaan. Parpol jenis ini memang tak banyak gunanya. Karena itu, begitu muncul kasus korupsi yang menjerat parpol-parpol besar, rakyat hanya bisa tersenyum sambil mengucap ”biarkan mereka tenggelam”. Rakyat telah lelah disuguhi teater hipokrisi yang digelar banyak parpol tanpa rasa malu. 

Elektabilitas parpol yang terjun bebas hanyalah salah satu indikator dari perlawanan rakyat yang tentu akan berbuah hukuman pada pemilu mendatang. Kita berharap rakyat tetap konsisten dan tidak goyah digerilya politik uang yang sangat mungkin akan tumpah ruah. Sebab, umumnya politikus di negeri ini bukan pejuang yang mampu merebut kepercayaan dengan komitmen, integritas, dan kapabilitas, melainkan para pembeli dan makelar kekuasaan.

Friday, January 18, 2013

POLITISI BUSUK DAN PENGANGGURAN POLITIK

KOMPAS.com - Pemilihan umum adalah saluran paling konstitusional bagi seseorang atau sekelompok orang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Namun, ketika uang sangat berkuasa, popularitas kerap menjadi penentu dan masyarakat pun kerap terlenakan oleh pandangan jangka pendek. Saat itulah terbuka peluang politisi yang sebenarnya tak layak.

Nyaris setiap menjelang pemilu, kampanye antipolitisi busuk mengemuka. Harapannya, tentu saja agar rakyat pemilih tak membiarkan politikus yang tak bermutu kembali menguasai jabatan publik. Menjelang Pemilu 2004, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir gerakan antipolitikus busuk. Politikus jenis itu adalah kebalikan dari politikus yang amanah, yakni politikus yang tidak pernah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, tidak terlibat dalam perusakan lingkungan, tak pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta tak terlibat narkotika.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada 2013 berencana memublikasikan rapor anggota DPR yang bisa menjadi acuan penilaian kinerja para wakil rakyat. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan isu antipolitikus busuk ini akan mewarnai sekitar setahun ke depan.

Gerakan memangkas politikus busuk tidak mudah dan jelas tak bisa sembarangan. Data yang digunakan mesti sahih, dengan variabel yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Itupun bukan jaminan bebas masalah. Pelabelan politikus bermasalah, kemudian mengampanyekannya, rawan digugat dengan delik pencemaran nama baik. Jika data yang dipakai keliru, konsekuensinya bisa lebih panjang lagi.

Tak semua politikus bisa berlapang dada seperti AM Fatwa. Menjelang Pemilu 2004, sejumlah organisasi non-pemerintah pernah mendeklarasikan Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk. Namun, sempat ada masalah ketika ICW keliru menyebut politikus Partai Amanat Nasional tersebut sebagai salah seorang anggota DPR yang terlibat korupsi. Fatwa mengadukan ICW ke Polda Metro Jaya. Kasus ini berhenti setelah ICW mengaku keliru dan meminta maaf (Kompas, 30 Juni 2005).

Formappi tampaknya akan melebarkan definisi politikus busuk. Mengutip Koordinator Formappi Sebastian Salang, politikus busuk termasuk juga anggota legislatif yang malas menghadiri sidang dan turun ke daerah pemilihan serta yang tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat konstituen (Kompas, 3 Januari 2013).

Terkait dengan kinerja politikus, sosiolog Ignas Kleden menyebut istilah pengangguran politik (Masyarakat dan Negara, 2004). Pengangguran politik terjadi karena tingkah laku politik yang tidak produktif dan malahan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan di masyarakat. Menurut Kleden, faktor pengangguran politik lebih disebabkan oleh kualifikasi para politikus yang menduduki posisi penting bukan karena keterampilan dan kompetensi, melainkan lebih karena dukungan kuat dari konstituen politik yang mereka wakili.

Direktur Pusat Studi dan Kajian Hukum Indonesia Ronald Rofiandri berpendapat, politikus seharusnya bukan penganggur. Bahkan, ketika mau total, mereka dengan sendirinya akan kewalahan dengan kompleksitas aspirasi dan suara.

Setiap politikus punya keterampilan dan kompetensi yang bisa diukur. Tinggal bagaimana konstituen menentukan kepada siapa mereka akan menyerahkan kepercayaan. Jika sudah begitu, akankah politikus busuk dan/atau penganggur politik masih mendapat tempat pada Pemilu 2014?

Saturday, January 12, 2013

KORUPSI DI DPR AKIBAT BIAYA POLITIK YANG BESAR


Rabu, 12 Desember 2012, 14:41 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pramono Anung,mengaku masih  sulit menghilangkan korupsi di DPR.

Menurutnya, sistem politik Indonesia yang kapitalistik menjadi kendala. “Sekarang terjadi kemunduran politik lantaran  biaya kampanye yang besar,” kata Pramono saat menjadi pembicara dalam Workshop Konvensi PBB tentang Anti Korupsi di Jakarta, Kamis (12/12).

Besarnya ongkos politik yang mesti dikeluarkan saat kampanye tak lepas dari sistem politik yang liberal. Pramono menjelaskan para politikus bebas menghabiskan dana kampanye tanpa ada aturan yang membatasi.

Alhasil tercipta persaingan tidak sehat di antara politikus. Politikus yang tidak memiliki modal kapital besar akan memaksakan diri untuk menyaingi lawan politiknya yang bermodal besar. “Nanti yang bisa menjadi anggota DPR hanya pengusaha,” ujarnya.

Pramono mengungkapkan, untuk kampanye menjadi anggota DPR seorang calon legislatif (caleg)  biasanya menghabiskan dana Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar. Bahkan ada anggota DPR yang berani mengeluarkan biaya hingga Rp 10 miliar.

Besarnya biaya politik yang dikeluarkan para caleg tidak sebanding dengan gaji yang akan mereka terima saat menjabat anggota DPR. Pramono mengungkapkan, gaji rata-rata perbulan anggota DPR sekitar 3000 dollar AS. Artinya dalam setahun seorang anggota DPR menerima  36000 dollar AS.

Jika diasumsikan  1 dollar ASadalah Rp 9500, maka anggota DPR setahun hanya menerima Rp 342.000.000. Bila angka itu dikalikan lima tahun masa jabatan, maka anggota DPR bisa mengantongi Rp 1.710.000.000.

Jumlah tersebut dinilai Pramono tidak sepadan dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dimiliki anggota DPR. “Mesti ada pengaturan biaya politik agar adil,” kata Pramono

Saturday, January 5, 2013

MENGGANTI PENCITRAAN DENGAN MERITOKRASI


Oleh Inggit Sugiarti (Pemerhati Sosial Politik di Bandarlampung)
Radar Lampung - Kamis, 20 September 2012

Sudah jadi pedoman favorit dunia politik bahwa pencitraan itu penting. Tidak peduli apakah kerja nyata yang dihasilkan telah dirasakan manfaatnya atau belum. Terpenting adalah citra. Dengan polesan tim ahli pencitraan dan dibantu penyebarannya oleh media massa, jadilah seseorang menjadi tokoh masyarakat dengan citra positif.

Bagi kita yang terbiasa dengan media massa, sering didapati pencitraan seseorang menjelang pemilu maupun pemilihan presiden dan wali kota. Sudah berulang kali juga kita kecewa. Sebab, citra yang dibangun di media tidak seindah fakta lapangan. Sudah saatnya politik Indonesia mengganti pencitraan dengan yang lebih bermanfaat. Yakni meritokrasi.

Meritokrasi bukanlah suatu sistem yang baru. Keberhasilan Jepang, Tiongkok, dan India, serta empat macan Asia lainnya, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, salah satunya ditopang oleh adopsi sistem politik meritokrasi. Sistem ini merupakan satu prinsip yang mampu menjaring beragam kemampuan di aneka sektor dalam masyarakat. Meritokrasi merupakan salah satu pilar kebajikan dalam nilai-nilai universal.

Dalam kamus Wikipedia, meritokrasi berasal dari kata merit atau manfaat. Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan.

Meritokrasi di Barat diperoleh melalui pemilihan umum. Calon pemimpin (kepala pemerintahan maupun partai) menyiapkan diri dari awal mulai dari citra pribadi sampai program kerja. Kemudian, hal ini dikampanyekan secara terbuka dan dikompetisikan dengan calon pemimpin yang lain. Semua ini didukung pula oleh rakyat yang terdidik, di mana bisa memilih secara rasional dan objektif.

Sementara itu, meritokrasi di Timur diperoleh melalui rekrutmen putra terbaik bangsa sejak awal. Putra-putri terbaik itu diseleksi dari awal untuk diberikan berbagai pendidikan dan penugasan. Yang terbaik dari yang terbaik-terbaik itulah diberikan kesempatan untuk memimpin dan berkuasa. Secara kebetulan, Tiongkok dan Singapura penganut ajaran Konfusius yang memang mengedepankan meritokrasi.

Dengan meritokrasi, negara akan diurus orang yang kompeten. Pembangunan negara direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga, negara akan maju. Apalagi meritokrasi ditambah dengan stabilitas negara. jadi pembangunan oleh putra terbaik itu akan berkesinambungan.

Karakter politik Indonesia seharusnya sudah beralih dari politik yang sarat identitas menjadi meritokrasi. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menyebutkan, dalam sebuah politik meritokratik, gagasan dalam bernegara begitu dinilai ketimbang pencitraan dari tokoh politik.

Proses penciptaan sistem politik meritokrasi hanya terjadi apabila partai politik menawarkan figur terbaik yang dihasilkan berdasarkan kemampuan. Meritokrasi akan melahirkan pemimpin kompeten setelah ditempa proses dan memiliki akar serta penerimaan publik. Pola ini muncul sebagai jawaban dari persoalan politik yang terjadi di masyarakat. Masyarakat awam kini sudah mempertanyakan apakah proses demokrasi di Indonesia bisa ke arah konsolidasi atau justru kembali ke masa otoritarian.

Untuk memudahkan itu, parpol harusnya bisa membangun kepercayaan kepada masyarakat di sekelilingnya. Sebab, hal ini syarat utama dalam menjaga konsolidasi demokrasi di mana pun.

Perbaikan Parpol

Memperkuat meritokrasi dalam sistem kepartaian merupakan langkah awal dalam memperbaiki sistem kepartaian. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, dengan memperkokoh ideologi partai sebagai nilai dasar perjuangan.

Parpol tanpa ideologi ibarat raga tanpa jiwa; tidak memiliki arah dan cita-cita perjuangan. Ideologi menjadi nilai bersama yang mengarahkan pimpinan dan kader partai tentang cita-cita kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan ideologi, parpol dapat menentukan apakah koalisi dengan parpol lain dapat dibangun atau tidak.

Kedua, kaderisasi ideologi. Yaitu proses internalisasi nilai pada kader parpol. Kaderisasi adalah fungsi pendidikan politik agar kelak dapat melakukan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat dan memassalkan ’’nilai ideologi’’ kepada masyarakat. Proses kaderisasi tidak instan, tetapi berjenjang, dari simpatisan, kader biasa, kader lanjutan, hingga pimpinan cabang, daerah, wilayah, dan pimpinan pusat.

Proses inilah yang akan membentuk calon legislatif dan calon presiden/kepala daerah. Bukan sebaliknya, mendukung calon non-kader dalam pemilu/pilpres/pilkada. Penguatan ideologi parpol dan kaderisasi adalah kunci membenahi infrastruktur politik di Indonesia. Dengan demikian, ada korelasi antara perbaikan taraf kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan instrumen dalam sistem politik.

Ketiga, meritokrasi baru bisa dibangun dengan komitmen segenap pihak. Konflik dan kompetisi yang timbul harus bisa diserap dan diakumulasi sebagai pembelajaran sebagai sistem politik.

Saat ini konflik politik dalam negeri terkadang belum sehat dan dewasa. Semangat yang melandasinya masih bersifat pemenang mengambil semuanya. Budaya demokrasi harus dibangun dengan upaya mengurangi tendesi konflik. Dalam konflik politik, pemenang harus mau merangkul dan menghormati yang kalah. Juga membangun kerja sama politik dengan yang kalah. Sementara pihak yang tidak menang harus dapat menghargai hasil kompetisi. Rela dan ikhlas memaknai kekalahannya.

Keempat. harus diberlakukan suatu sistem reward dan punishment di semua fungsi kepartaian dari sistem rekrutmen, regenerasi, jenjang karir, sampai penetapan calon kepala daerah bahkan calon presiden.

Sistem meritokrasi harus dimulai dari hilir yaitu berkaitan dengan transparansi kepada publik. Transparansi itu bisa berupa laporan kinerja dari para wakil rakyat dan transparansi laporan keuangan dari partai kepada publik. Hal ini bisa dilakukan melalui instrumen media secara berkala.

Transparansi ini akhirnya akan memaksa partai untuk bekerja secara efektif dan efisien berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang mereka miliki karena ada pertanggungjawaban yang harus mereka kejar. Dari situ akan terbangun sebuah rule of conduct, rule of law and rule of ethics yang akan menopang berjalannya sistem tersebut.

Apabila sistem meritokrasi tersebut sudah berjalan, barulah kemudian membangun sebuah struktur pembagian fungsi di partai yang akan lebih bersifat aplikatif untuk optimalisasi kinerja. Sebagai contoh kita bisa membagi struktur partai menjadi tiga fungsi yaitu eksekutif, legislatif, dan fungsi profesional.

Dengan pembagian ini, kader-kader akan mulai bekerja secara internal sesuai dengan cita-cita mereka ketika akan terjun di hadapan masyarakat (entah legislatif atau eksekutif). Sementara orang-orang yang memang lebih memiliki keinginan berkembang secara organisasional akan fokus kepada kerja-kerja profesional partai.

Tuesday, January 1, 2013

KORUPSI DAN LINGKARAN PARTAI POLITIK


Kamis, 12 Juli 2012 | 09:11 WIB

KOMPAS.com — Saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan institusinya tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Al Quran, banyak yang terenyak. Sesuatu yang suci pun dikorupsi di negeri ini. Belakangan, saat KPK menetapkan anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka dalam kasus ini, efek kejutannya tidak sama lagi.

Korupsi pembahasan pengadaan Al Quran membuat kita terkejut. Namun, begitu mengetahui bahwa pelakunya diduga adalah anggota DPR, mereka yang tadinya kaget pun seperti sudah mafhum. Survei Transparency International Indonesia tahun 2009 menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia, sementara partai politik berada di urutan ketiga terkorup. Kondisi ini tak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir.

Sejauh ini, lebih dari 40 anggota DPR yang dihukum karena korupsi. Jika benar-benar terbukti, Zulkarnaen mungkin akan menambah panjang daftar anggota DPR yang menjadi pesakitan karena korupsi.

Setahun terakhir kita seperti disuguhi pertunjukan tentang betapa korupnya anggota DPR di Indonesia. Dimulai ketika KPK membongkar kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang. Ketika itu, yang ditangkap memang seperti tidak ada kaitannya dengan anggota DPR atau partai politik. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap dari Direktur Marketing PT Duta Graha Indah dan anggota staf marketing Grup Permai.

Belakangan, melalui serangkaian penyidikan, KPK menemukan, Grup Permai sebenarnya dikendalikan  mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dalam persidangan dengan terdakwa Nazaruddin, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun menyebutnya sebagai pengendali Grup Permai.

Persidangan Nazaruddin memberi gambaran jelas ada hubungan nyata antara aktivitas politik anggota DPR dan korupsi berbagai proyek pemerintah yang anggarannya dibahas di parlemen.

Grup Permai adalah entitas berbagai kelompok bisnis yang dipakai untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah lewat cara curang, seperti menyuap pemilik proyek. Grup Permai membawahi beberapa perusahaan. Anak perusahaan itulah yang bertugas mencari proyek pemerintah untuk dimenangkan tendernya. Setelah menang dan memperoleh proyek, mereka bisa mengerjakan sendiri atau menyerahkan ke perusahaan lain yang bersedia membayar fee. Fee itu kemudian disimpan di brankas milik Grup Permai.

Untuk bisa mendapat proyek, pegawai Grup Permai seperti Mindo Rosalina Manulang harus dekat dengan anggota DPR. Dengan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu, tak sulit bagi Nazaruddin menginstruksikan anak buahnya seperti Mindo untuk berhubungan erat dengan anggota DPR yang membahas anggaran proyek.

Dalam kasus wisma atlet, Mindo mengaku bekerja sama dengan anggota Komisi X DPR dari Fraksi Demokrat, Angelina Sondakh. Angelina merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Pembahasan seluruh anggaran yang diajukan pemerintah yang melalui Banggar DPR membuat alat kelengkapan ini jadi tempat pertama korupsi direncanakan.

Kerja sama dengan anggota Banggar DPR menjadi kunci permainan korup ini. Dakwaan jaksa KPK terhadap Wa Ode Nurhayati dengan jelas menggambarkannya. Wa Ode adalah mantan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Jaksa mendakwa Wa Ode menerima suap dari pengusaha Fadh Arafiq melalui Haris Andi Surahman.

Dalam dakwaan jaksa disebut, Fadh minta tolong Haris agar dicarikan anggota Banggar yang bisa mencairkan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) untuk tiga kabupaten, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah. Imbalannya, Wa Ode minta 6 persen dari total DPID untuk tiga kabupaten itu.

Dalam kasus korupsi pembahasan pengadaan Al Quran, sebagai anggota Banggar DPR sekaligus Komisi VIII, Zulkarnaen ikut mengarahkan perusahaan tertentu agar dimenangkan tendernya. Untuk perannya ini, Zulkarnaen diduga menerima suap miliaran rupiah. Zulkarnaen membantah terlibat kasus itu saat diperiksa Badan Kehormatan DPR. Namun, dia sudah dicopot dari Banggar DPR.

Secara sederhana, peran anggota Banggar DPR terlihat dari komisi tempatnya berasal. Zulkarnaen ada di Komisi VIII yang mitranya antara lain Kementerian Agama. Angelina yang tersangkut kasus wisma atlet dan 16 universitas negeri ada di Komisi X yang bermitra kerja dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, ada juga yang bermain lintas komisi seperti Nazaruddin. Dia bisa seperti itu karena posisinya di struktur partai termasuk paling tinggi, yakni bendahara umum. Tampaknya siapa pun yang dipilih menjadi anggota Banggar DPR oleh fraksinya punya tugas sebagai penggalang dana (fundraiser) bagi partai. Rata-rata bendahara partai merupakan anggota Banggar DPR. (Khaerudin)